Selasa, 16 Desember 2014

GIOK (Bagian Satu)

--Selama perjalanan sejarah setelah ditemukan, giok telah dikenal sebagai asesoris dan perhiasan selama ribuan tahun yang lalu oleh peradaban manusia. Bahkan juga diagungkan sebagai "batu penyelamat" bahkan sebagai "batu kesehatan" oleh suku-suku bangsa di Asia Timur dan di benua Afrika ataupun Amerika termasuk oleh suku Maya dan Inca.--

Ibuku kerap bercerita tentang dirinya seperti ini;
"Dia lahir seukuran botol susu bayi. Kecil, sangat kecil. Dulu, kami menjual macam-macam barang kebutuhan pokok di toko. Pelanggan kami kebanyakan adalah para pelaut dari pulau Buton. Tiap perahu mereka merapat, berbondong-bondong mereka datang membeli berbagai keperluan yang akan dijejalkan ke perahu mereka untuk dibawa pulang. Gula, tepung terigu, dan macam-macam bahan makanan. Tapi susu bayi selalu tak sempat dijual. Susu-susu impor itu habis diminum olehnya, tapi herannya tubuhnya tak juga menggemuk. Ah, barangkali sudah keturunan. Ayah ibunya berperawakan kecil dan bertubuh kurus. Ibunya hanya pandai melahirkan, setelah itu, setelah tahu anaknya terlahir cacat, ditinggalkannya anaknya begitu saja. Ayahmu yang membawanya pulang, menyuruhku merawatnya. Kau lihat, ayahmu terkadang keras dan garang seperti singa, tak sampai hati juga ia menelantarkan kemenakannya. Kuasuh ia sejak kecil, membiarkannya memanggilku dengan sebutan Mama Yah. Sampai SMA, ayahmu menyekolahkannya. Tak terlalu pintar, tapi ia juga tak bisa dibilang bodoh. Ia sangat pandai membantu bibimu menjual pakaian di pasar. Pandai membujuk pembeli untuk datang dan datang lagi. Andai ia tak cacat, andai ia bisa bicara dengan normal, tentulah hidupnya jauh lebih bahagia...."

Cacat yang dimaksud adalah suara sengau yang keluar dari mulutnya setiap kali ia bersuara. Jika kau baru pertama kali bertemu dengannya, kau mungkin akan tersesat dalam sengau yang dilantunkannya. Ya, kau harus berlatih agar mahir menangkap makna kata-kata yang dilontarkannya. Selebihnya, ia perempuan yang gesit dan ramah. Pandai berteman dengan siapa saja, gemar menolong, perempuan yang di dalam tubuh kecilnya berkobar semangat hidup begitu tinggi.

Selepas dari pengasuhan ayahku, pada usia belasan tahun ia kembali ke rumah ibunya. Ibunya, perempuan yang dipanggil dengan sebutan Mamak Teng itu, perempuan yang pandai menebarkan teror manakala kau berada di dekatnya. Saat aku kecil, aku selalu tak mau jauh-jauh dari ayahku. Sering tangannya mampir ke lenganku, memberi sengatan semacam gigitan semut besar. Atau, tatkala ayahku sibuk mengobrol dengan saudaranya yang lain, ia akan membulatkan matanya besar-besar tanda mengancam. Kurasa, Mamak Teng adalah monster berwujud manusia pertama yang datang mengganggu tidurku. Ia perempuan yang sangat mengerikan, percayalah. Giginya besar-besar memanjang, suaranya melengking mirip suara perempuan jadi-jadian yang pernah kutonton dalam sebuah film horor. Dan yang paling mengenaskan tentang dirinya adalah ia pandai sekali bersiasat demi membuat orang yang tak disukainya terluka. Matanya bersinar-sinar memancarkan kebencian saat menemukan sesuatu yang baik menghampiri orang lain. Ayahku kerap membisikiku sesaat sebelum bertemu dengannya. "Jangan kau bilang jam tanganmu itu baru, ya? Bilang saja jam tangan lama yang jarang kau pakai." Atau; "Jangan bilang-bilang kalau kulkas kita baru diganti. Diam-diam saja. Nanti hatinya tak senang."

Konon, Mamak Teng lahir pada saat bulan sedang lancip selancip-lancipnya. Pertanda tidak baik, menurut orang-orang tua dahulu. Hidupnya akan tajam dan seciut bulan lancip itu. Lahir sebagai anak bungsu, Mamak Teng sangat dimanja oleh Nenek. Ia kerap berteriak-teriak demi keinginannya dipenuhi. Anak perempuan yang sungguh menyusahkan tapi entah mengapa Nenek teramat mengagungkannya. Jaman ia muda, tutur ibuku, Mamak Teng sebenarnya lumayan jelita. Kulitnya putih bersih, wajahnya campuran tionghoa pribumi, ia pandai berdandan, karenanya banyak lelaki yang antri untuk meminangnya. Entahkah karena hal bulan lancip selancip-lancipnya tadi ataukah memang sudah garis hidupnya, ia jatuh ke pelukan seorang lelaki yang tak menentu pekerjaannya. Dari lelaki itu, ia mendapatkan dua putri. Perempuan bersuara sengau tadi salah satunya. Mereka kemudian berpisah tanpa bercerai, lelaki itu menikah lagi. Tidak berapa lama Mamak Teng kembali menemukan lelaki idamannya. Lelaki yang nantinya menghadiahinya segunung kesulitan hidup sebab lelaki ini amat suka berjudi dan menipu demi menafkahi keluarganya.

Ibuku mengajariku sejak kecil, kata-kata yang kita keluarkan terkadang bertulah. Pada saat mengandung anak pertamanya, Mamak Teng pernah mengejek seorang cacat dengan suara sengau sembari tertawa-tawa. Itu terjadi di tengah-tengah ramai orang, di daerah Pelabuhan Paotere, tempat tinggal ayahku sebelum aku lahir. Setelahnya, Tuhan menghadiahinya seorang anak perempuan yang bersuara sengau, persis seperti orang yang diejeknya. Tuhan mungkin hanya ingin membuatnya berhenti menertawakan manusia lain yang sesungguhnya Ia ciptakan tidaklah atas dasar kesia-siaan belaka. Hanya saja aku kerap jatuh kasihan pada anak perempuan itu sendiri. Mengapa justru ia yang harus menanggungkan dosa ibunya seumur hidupnya?

Bagaimanapun juga, meski kisah itu kerap diulang-ulang dan terdengar oleh telinga perempuan bersuara sengau tadi, tak pernah ia balik menuding ibunya sebagai penyebab hidupnya yang sulit. Mungkin ia pun sebenarnya kecewa pada ibunya seperti ibunya selalu menyesali kehadiran dirinya, tapi apa mau dikata? Mereka terlanjur terikat pada pertalian yang telah disimpul mati oleh Tuhan. Dan tak pernah ada sebutan bekas anak. Apalagi bekas ibu.

-bersambung-

Kamis, 11 Desember 2014

Rahma, apa kabarmu?

Rahma....

Satu tahun berlari seperti mengerdipkan mata dan tahu-tahu kau sudah tak ada. Apa kabarmu? Mungkin harus kucari dirimu di antara awan putih yang berarak perlahan di antara langit pagi ini. Atau di antara gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu di mana ingatanku akan selamanya tertinggal di sana. Masihkah kau sehangat dulu? Masihkah kau suka menghibur kawan-kawan barumu di sana seperti yang kau lakukan dulu terhadap kami?

Berapa usia pertemanan kita? Dua puluh tahun? Aku pernah bilang, suatu hari saat kita menua, saat lutut kita telah goyah dan putih mendominasi helai-helai rambut yang tumbuh di kepala kita, kita akan duduk bersama di sebuah studio foto, mengulang apa yang pernah kita lakukan berpuluh tahun yang lampau dan tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. Satu cuplikan yang indah sebelum kita saling berpamitan dan ikhlas saling melepaskan. Foto itu nantinya kita bingkai dan masing-masing kita berikan ke cucu kita yang sudah beranjak remaja. Biar nenek sudah tidak ada, foto ini biarlah tetap di dinding, supaya kalian ingat, nenekmu ini adalah seorang perempuan yang bahagia sepanjang hidupnya sebab selalu memiliki mereka. Ya, aku yang kuat dan bahagia karena kalian. Teman-temanku.

Kau dan aku adalah yang paling sering melewatkan sesi foto bersama. Kau yang merantau selepas SMA, aku yang pergi mengikuti ke mana langkah lelakiku pergi. Setahun atau dua tahun sekali, selalu tak cukup untuk memberitahumu segala hal yang aku lalui atau mendengarmu menceritakan tempat-tempat yang sudah kau singgahi. Tapi kita selalu bersyukur untuk bermenit-menit kesempatan yang diberikan Tuhan demi mengurai rindu. Kita saling memeluk dan tertawa seperti dulu.

Kita dulu tak disentuh teknologi canggih semacam telepon genggam, yang membuat kita tak punya banyak foto selfie selain beberapa lembar kenangan yang sempat diabadikan di kamera milik Indah. Tapi entah mengapa, setiap ekspresi, senyuman, tawa dan suaramu bukan hal yang sulit untuk diingat kembali. Kau yang abadi dalam ingatanku dalam seragam putih abu-abu, langkahmu yang gagah, rambutmu yang mengibar kaku membuat image-mu semakin seram. Kulitmu legam, yang selalu jadi bahan olokan kami bahkan di saat-saat kau akan mempersiapkan pernikahanmu. Ada gunanya tidak kau mandi uap dan luluran? ejek kami bersahut-sahutan di grup bbm waktu itu. Kau mengabarkan akan menikah saja, sudah membuat kami takjub. Bukan karena meragukan sisi kewanitaanmu, bukaaaannn. Perkaranya, sepanjang kami mengenalmu, kau jatuh bangun dalam hal percintaan. Yang kami tunggu adalah kenyataan, tetapi yang terjadi kebanyakan adalah kau berpindah dari satu hati ke hati lainnya tanpa realisasi yang jelas. Ah, Rahma... Maafkan, kubongkar sedikit masa lalumu yang suram. Masa-masa di mana menggodamu setiap kali kecenganmu melintas adalah sesuatu yang sangat memuaskan hati kami.

Yang kutahu, kau itu sejenis manusia sabar yang tak pernah pusing harus tampil seperti apa di depan orang-orang. Habis-habisan kau kami cela, tak pernah berakhir menjadi sebuah permusuhan. Aku mencuri semangat setiap pagi dari dirimu, itu yang mungkin tak kau sadari. Segala hal yang sulit bisa berubah menjadi lucu jika kau yang menceritakannya. Belum lagi jika kau menularkan tawamu yang sungguh tak sopan untuk ukuran tawa seorang anak gadis. Kau yang terlalu apa adanya.

Rahma, aku sedang memunguti satu persatu rasa rinduku yang kubiarkan berceceran di lantai kamarku. Dan aku tersenyum-senyum, mungkin seperti itulah yang seharusnya terjadi saat mengenang seseorang seperti dirimu. Kabarmu bertahun-tahun tak pernah jelas di telinga kami. Setiap pertemuan pun tak pernah kau uraikan apa kesulitanmu, letihkah kau bertahun-tahun menjadi tumpuan ibu dan adik-adikmu selepas ayahmu pergi? Harusnya aku banyak-banyak bertanya selagi ada kesempatan, supaya mungkin bisa kubagi sedikit kekuatanku kepada dirimu lewat beberapa patah kata. Ah, sesal itu memang selalu datang terlambat ya, Rahma? Seperti sesalku hari ini, belum bisa membuatkanmu sebuah buku.

"Mimi is very good in writing. She writes for woman magazine sometimes, and you know what? She's also good in singing.... She's so talented!"

Di pertemuan kita terakhir, di sebuah kedai kopi bersama suamimu, aku hampir saja melorot dari tempat dudukku dan memilih bersembunyi di kolong meja. Satu cerpen plus satu cerber yang pernah dimuat di sebuah majalah wanita, itu yang kau sebut sebagai 'very good in writing'? Diam-diam saja aku menanggapi pujianmu sembari mencoba mengalihkan pembicaraan. Kau membuatku merasa sangat berdosa, dengan ekspektasi setinggi itu, aku justru sedang merayap di dasar kepercayaan diriku sendiri. Tak ada waktu untuk menulis, kilahku. Kau terus menyemangatiku tanpa sadar betapa putus asanya sebenarnya aku. "Tulisanmu itu kau tahu, Mei-Mei... Tanpa aku lihat siapa penulisnya, aku sudah tahu ini pasti kau yang menulisnya...."

Kau tahu? Mudah-mudahan kau tersenyum di sana saat membaca ini; aku sekarang sedang belajar kembali mengasah kemampuanku demi membuatmu tersenyum. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk seorang teman dengan hati selembut dirimu? Satu tahun sudah kau tak memberi kabar. Satu tahun sudah tak kau ijinkan kami tahu apa yang sedang kau lakukan di sana. Yang kami tahu, kau meninggalkan banyak sekali pertanyaan yang tak mampu kami temukan jawabannya. Sesaat setelah kami semua mensyukuri akhirnya kau yang mungkin lelah kini dipertemukan dengan seorang lelaki muslim yang baik yang bersedia ikut memikul bebanmu, lalu hal-hal menakjubkan terasa terus menghujani kehidupanmu, berita kehamilanmu yang kembali menerbitkan keisengan kami mempertanyakan seperti apa kelak rupa dan kulit anak kalian, lalu Tuhan menutup buku kehidupanmu begitu saja. Selesai.

Rahma... Boleh kuberitahu kau sesuatu? Suamimu yang tampan itu beberapa hari yang lalu tengah bersiap terbang dari Malaysia menuju Makassar demi mengunjungi ibumu. Ia bertanya, apakah aku bersedia menerima buku-buku bacaan yang kau tinggalkan? Kau tahu, aku berusaha tak sering-sering menyapanya atau mengajaknya berbincang. Membuatku kelu, membuatku ingin menyalahkan takdir, mengapa seorang lelaki yang sedemikian baiknya untukmu harus sedemikian singkatnya kau nikmati kehadirannya? Mengapa kalian tak dibiarkan hidup menua bersama? Ia memujamu dan dalam setiap kalimat ia memintaku mendoakan dirimu. Ia bercerita betapa bahagianya saat kau hamil dan di saat yang bersamaan ia harus hancur karena kenyataan itu yang justru mengantarkan kau pergi. Perempuan yang kugambarkan kepadanya persis seperti perempuan yang ia gambarkan kepadaku. Rahma yang penuh kasih sayang dan pengertian. Rahma yang tak pandai marah. Rahma yang kerap bercerita tentang teman-teman karibnya. Rahma yang mungkin menanggungkan rindu yang teramat berat tetapi memilih sabar sebagai teman dalam menjalani hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

"Maafkan saya belum mampu memakai jilbab, Mei-Mei... Saya tak mau sekedar ikut-ikutan, tidak sebelum hatiku benar-benar mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan perbuatanku. Kau mengerti, Mei-Mei?"

Siang itu, kabarmu melintas dari negeri nun jauh. Aku tak mampu merapal doa sebab sesuatu seperti mengunci seluruh tubuhku sebab ini sebuah kenyataan yang tak pernah terlintas dalam benakku akan terjadi. Pembuluh darahmu pecah dipicu oleh kehamilanmu yang masih berusia dini, kau pun kehilangan kesadaran. Tak ada yang tahu apa yang kau pikirkan saat kau terbaring ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiranmu. Kau yang hanya ditunggui suamimu, ibu dan adik laki-lakimu yang segera terbang begitu mendengar kabar sakitmu. Dari yang kudengar, kau tak bangun lagi menyapa ibumu hingga sore itu kau dijemput pergi. Dari matamu yang tertutup, sempat mengalir beberapa tetes butiran air sesaat setelah ibumu datang di sisimu. Mungkin kau hendak berpamitan pada perempuan sederhana yang kau warisi kebaikan hatinya itu.

Kematian itu selalu jadi misteri besar bagi kita, kini kau yang pertama di antara kami berenam yang berhasil menguaknya. Adakah sesulit yang diceritakan orang-orang tentang perjalanan ke sana? Ataukah justru seperti yang kami harapkan, Allah membentangkan jalan yang indah bagi seorang perempuan sebaik dirimu?

Rahma... Sampai bertemu nanti. Bagiku, kau tak kemana-mana. Kau akan selalu bisa kutemukan dalam gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu. Dalam secangkir kopi hitam yang menguarkan kenangan tentang dirimu di pertemuan terakhir kita dua tahun yang lalu di sebuah kedai kopi di kampung halaman kita. Dalam beberapa lembar foto tua yang kujaga baik-baik, kutengok sesekali saat rindu begitu menjajah. Bahkan di antara awan putih yang berarak perlahan di langit sana.

Kau sungguh tak pernah pergi, Rahma...

Selasa, 02 Desember 2014

Mesin waktu

Pernahkah kau pada suatu masa begitu sulit memahami seseorang? Lalu kau menyerah, tetapi orang tersebut tak juga pergi meninggalkanmu, seberapa besarnya pun keinginanmu mencoba membuatnya pergi. Lalu, kau seberangi lautan, kau lintasi samudera, kau bergerak dari naungan langit yang satu ke naungan langit yang berikutnya, ia masih juga di sana tampak di pelupuk matamu?

Aku tak tak tahu apakah bangunan kecil itu layak disebut rumah. Mari kutuntun kau sedikit. Sebuah pagar berkarat yang berdecit-decit saat dibuka, sebagai permulaannya. Perempuan itu menyambutku dengan sedikit berbungkuk, tak membiarkanku menilai riak di matanya sebab kedua mata itu seperti hanya memperlihatkan dua buah garis pendek yang membosankan. Perawakannya kecil, sedikit kurus, seperti itulah mungkin kelak aku menjelma jika usiaku mencapai usianya. Aku bertahan di depan pagar berkarat yang telah terbuka lebar selama beberapa jenak. Menunggu-nunggu kemungkinan terbaik menghantamku, bertaruh dengan diriku sendiri yang sejak lama penasaran. Lalu, seperti ia langsung mengguyurkan seember air kekecewaan, demi membuatku kembali pada keadaan sadar. "Mari masuk..." begitu tukasnya. Biasa saja, tanpa nada yang penting yang menghanyutkan emosi seperti yang terjadi saat kau melantunkan sebuah lirik lagu sedih.

Jadi... Begini saja? Bertahun-tahun menimbun rindu yang tingginya nyaris mencapai langit, begini saja akhirnya? Beratus-ratus malam diam dalam gelap tersenyum-senyum menggambarkan serupa apa wajahnya dan sedikit mencemburui anak-anak yang beruntung berada dalam pelukannya, begini saja akhirnya? Sebuah pelukan yang hangat, beberapa tetes air mata haru, tentulah sudah cukup menghapus ketidakpastian yang hidup dalam diriku selama bertahun-tahun. Atau sebuah kata sederhana semacam 'maaf', yakinlah bahwa aku akan mengalahkan waktu dan kau akan kumaafkan detik itu juga. Tapi, begini saja akhirnya...?

Kutegar-tegarkan diri. Jika air mata adalah sebuah hal yang sangat mahal untuk ia buang percuma, maka akupun takkan membuang air mataku di sini. Berat hati kuajak kakiku mengayun, menghampiri sebuah kursi plastik yang disodorkannya kepadaku. Sebuah patung lelaki gundul berperut buncit yang tengah duduk, seakan menertawakanku. Wangi hio menebarkan aroma yang mengingatkanku pada masa kecilku sendiri. Patung seorang dewi cantik tak jauh dari lelaki gundul yang terus tertawa tadi, seperti hendak membisikkan sebait kalimat kebijaksanaan. Aku gagal mempercayainya. Ruangan ini seakan hendak membekapku hingga sesak nafasku. Kotak-kotak dus bertumpuk, barang-barang bekas berserakan, segala macam benda yang mungkin usianya lebih tua dari usiamu sendiri, ada di sini. Aku menebak-nebak layaknya seorang ahli penyakit jiwa, orang-orang yang hidup di dalam rumah ini sudah pastilah orang-orang yang terjebak dalam masa lalu.

Lalu, seperti layaknya pada tamu-tamu lainnya yang ia kenal, perempuan itu menuntun aku menyusuri sebuah koridor pendek yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang. Sebuah bambu panjang tergantung di atas kepala, tempat beberapa lembar pakaian kering disampirkan. Ada dua ruangan tidur berukuran kecil yang kulewati sepanjang koridor itu. Dua ruangan yang dipergunakan oleh perempuan itu dan lelakinya untuk beristirahat. Tidak untuk tidur bersisian, tidak ada kemungkinan tidur berpelukan, bahkan untuk saling menatap sekalipun. Kedua ruangan itu dibatasi sekat sebuah triplek tipis yang telah dipaku mati. Mereka tidur sendiri-sendiri dalam arti yang sebenarnya.

Sebuah kotak ajaib kecil tempat ia mencuri lihat kehidupan di luar dunianya, menyambut kami. Pun, di ruangan sempit yang langsung bersambung dengan dapur dan kamar mandi ini, kotak-kotak kardus dan barang masih menjadi penguasa. Di sebuah meja kecil yang menempel di tembok, diapit sebuah lemari pakaian berbau apak dan sebuah lemari pendingin yang usianya nyaris sama dengan usiaku, di situ biasa aku berhenti. Meja itu bahkan tak cukup untuk dua orang dewasa. Perempuan itu setidaknya tuan rumah yang baik, dijamunya aku apa saja yang sedang dimasaknya. Yang paling aku gemari adalah masakan khas sup ayam kampung muda berkuah hitam. Yang rasanya pahit menguarkan aroma akar-akar obat yang khas. Di tahun-tahun berikutnya aku sadar, seperti itulah aku mengenang perempuan itu. Pahit.

Dulu, sepulang kuliah, aku sering duduk berlama-lama mendengarnya bercerita. Semua informasi yang diperolehnya dari kotak ajaib itu diceritakannya kembali kepadaku lengkap dengan analisanya. Entahkah ia yang berhasil 'menguasai' kotak ajaib itu ataukah sebaliknya. Perempuan itu bahkan mahir mendramatisir sebuah aib seapik yang dilakukan oleh seorang Feni Rose. Ia adalah contoh yang sempurna betapa mumpuninya sebuah media dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Aku tak membantahnya, dengan kata lain aku kesulitan menyela. Kuiyakan saja dengan sesekali bergumam... Oohh... Masa? .... Astaga! Pun ketika ia mulai mencela ini dan itu, kutelan bulat-bulat saja celaannya yang pedas nian rasanya. Hampir segala hal salah atau harus dikoreksi menurutnya. Ia terlalu sempurna untuk dunia yang sangat mengecewakan ini.

Di setiap kesempatan, pasti selalu ada waktu untuk mencela sebuah nama. Lelaki itu, lelaki yang tidur di sebelah kamarnya, lelaki yang biasa kutemukan sedang duduk berjongkok tepat di depan pintu atau sedang duduk di sebelah mejanya yang bertaburan barang-barang mistis sembari mengipas-ngipas. Sesekali aku berharap, perempuan itu mau saja menurunkan nada suaranya sedikit, supaya perbincangan ini tak berujung penyesalan di kemudian hari. Tapi rasa-rasanya ini semacam balas dendam yang tak selesai-selesai, meski segala jenis teknologi muktahir telah diciptakan demi kita bisa melangkah maju ke masa depan. Benci harus kukatakan, tebakanku di awal benar. Rumah ini membuat penghuninya terjebak dalam masa lalu.

Andai saja kita punya mesin waktu, ya? tukasnya suatu ketika padaku. Untuk apa? Serta-merta aku bertanya. Aku ingin kembali memutar ulang waktu, di mana aku bertemu lelaki itu. Aku tentu takkan menikah dengannya dan berakhir seperti ini. Aku diam, kali ini aku benar kelu. Jika saja mesin waktu itu benar-benar ada, maka kemungkinan terburuknya aku pun takkan mungkin ada hari ini. Tidakkah kehadiranku harusnya bisa membuatnya melupakan ide tentang mesin waktu itu? Aku yang tertemukan setelah belasan tahun 'dihilangkan dengan sengaja', tidakkah itu adalah sebuah pencapaian yang jauh lebih dahsyat ketimbang mesin waktu itu sendiri? Pahit benar.

Akupun sebenarnya tak mahir memaafkan, tetapi melihat dirinya, aku mau tak mau harus percaya, pintu hati tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Terkadang, sembari duduk di atas kursi plastik, sementara kata-kata berhamburan dari mulutnya dan saling bersilangan di udara di sekitarku, aku menghapus satu persatu gambar yang pernah kubuat tentang kehidupan mereka. Gambar-gambar itu terlalu ideal, bisik batinku merasa berdosa. Aku mencoba membuat gambar yang lain. Seorang anak kecil berusia sebaya diriku sedang tidur menggulung tubuhnya menjadi serupa bola, sementara sebelah tangannya menekan erat bantal yang menutupi telinganya. Seorang anak balita yang tadinya tidur memunggunginya, terbangun sebentar karena teriakan-teriakan itu. Tapi ia pun tak sanggup menyentuh punggung kakaknya, lalu ia pun menyalahkan dirinya karena tidur pada sisi yang salah. Di atas mereka, di tingkat atas tempat tidur bersusun itu, dua anak perempuan yang lebih tua usianya saling menautkan jemari, berbisik pelan-pelan dalam hati, memanggil Tuhan. Seorang anak lelaki lainnya, terperangkap di sebuah kamar di atas loteng yang sempit, memilih tetap di sana sebab ia tahu, walau anak laki-laki bernilai 'emas' dalam tradisi keluarganya, ia tetap tak diperhitungkan.

Mungkin saat itu tak ada piring yang berterbangan atau perabot kaca yang pecah berkeping-keping seperti yang terjadi di film-film drama. Mungkin yang ada hanya teriakan-teriakan saling menyalahkan, sederet daftar dosa yang dihamburkan dan tak layak untuk diampuni, sumpahan demi sumpahan tentang kekurangan masing-masing diri. Hingga mereka lelah, hingga mereka tidur sejenak mengembalikan kekuatan. Hingga esok malam mereka punya tenaga baru untuk saling mencaci. Hingga curiga adalah makanan sehari-hari. Terus-menerus, terus-menerus. Terus-menerus....

Kisah-kisah itu tentu tak kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku percaya hal itu benar terjadi. Seperti aku percaya, tidak semua manusia yang harus menelan penderitaan pahit dan dipaksa mengunyahnya pelan-pelan sampai lumat, berakhir menjadi kepingan-kepingan kegagalan. Perempuan-perempuan kecil yang menghabiskan malam-malam mereka dengan takluk dalam diam dan rasa takut itu, kini menjelma menjadi perempuan-perempuan yang mencengangkan. Setidaknya malam-malam menakutkan itu telah membuat mereka mampu memelihara sebuah tekad untuk kelak keluar dari dunia yang sempit yang diciptakan perempuan dan lelaki itu untuk mereka. Perempuan-perempuan kecil yang dipaksa berkompromi dengan segala macam kesulitan hidup, tekanan psikis selama berbelas tahun, tapi mampu meluaskan hatinya untuk setia mengamini ungkapan 'tidak ada yang namanya bekas orang tua'.

Betapa waktu mampu membuat kita kadang-kadang kelu. Gadis kecil yang dulunya terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya di saat usianya masih belasan tahun, yang harus mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang sarjana, kini mampu berdiri tegak mengambil alih semua kewajiban yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Ia yang kini yang begitu girang bisa memugar rumah tua berkenangan pahit itu menjadi sebuah rumah yang cantik dan semoga bisa menghangatkan seperti harapannya. Gadis kecil lainnya tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang sangat welas asih. Di luar membesarkan dua anak lelakinya yang menjelang remaja, ia aktif menyumbangkan tenaga, pikiran dan hartanya dalam sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Gadis kecil yang menutup telinganya dengan bantal pun telah berhasil mencapai pencapaian hidup yang bukan biasa-biasa. Ia terlalu ulet untuk diruntuhkan, ia bergerak sepanjang waktu membantu para pekerja yang butuh motivasi, padahal jika ia ingin, ia sebenarnya boleh berkeliling dunia dengan penghasilannya dari belasan apartemen miliknya yang ia sewakan. Dan si gadis bungsu yang dulunya kukira bisu sebab tak pernah terdengar mampu menyuarakan kehendaknya oleh karena hidup yang mengajarkannya untuk diam, kini telah melakukan sederet lompatan-lompatan besar dalam hidupnya. Setelah lulus di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Bandung dengan nilai sangat memuaskan, ia menyelesaikan dua buah program beasiswa di luar negeri. Kini, ia adalah seorang perempuan dewasa yang bekerja di bidang teknik informatika.

Sesekali, aku duduk bergabung dengan mereka, berbincang lepas tentang badai besar yang telah mereda di kehidupan mereka, yang kulewatkan sebab Tuhan maunya begitu. Tertawa-tawa, menangis, bersyukur, saling menguatkan, lalu mereka menudingku sebagai orang yang beruntung sebab pernah 'dihilangkan dengan sengaja'. Badai besar memang masih berkecamuk di atas kepala perempuan dan lelaki yang masih hidup satu atap tapi tak bertegur sapa itu. Mereka tak pernah bisa menemukan alasannya atau menyelesaikannya, rasanya tak ada yang sungguh-sungguh mampu. Entahkah ini sebuah contoh bahwa kebencian bisa hidup meraksasa dalam sebuah cinta, ataukah benar mereka sejak pertama tak pernah mencintai. Pun kalau benar seperti itu, mungkin perempuan-perempuan itu sudah tak punya air mata untuk meratapi kenyataan bahwa mereka memang lahir dari perempuan dan lelaki ini. Mudah-mudahan sampai mati mereka takkan menyerah memelihara 'maaf'. Mudah-mudahan sampai mati mereka tetap mencintai perempuan dan lelaki itu.

Ma, jika aku bisa memaafkan.... Jika mereka bisa memaafkan, mengapa Mama tidak?