Rabu, 14 Januari 2015

JEJAK-JEJAK

JEJAK-JEJAK

Menjadi ibu rumah tangga atau istilah kerennya full time mom identik dengan kata repot. Ya, bohong besar kalau tidak, terkecuali untuk ibu-ibu yang mampu menggaji asisten sebanyak jumlah anak yang dimilikinya mungkin. Like my own life, sejak mata melek hingga menjelang merem, saya seperti berkejaran dengan waktu. Waktu 'precious' semacam saat ini di saat saya punya kesempatan nulis sesuatu di fesbuk misal, itu artinya saya sudah selesai patroli dari satu kamar ke kamar lainnya, sudah membereskan ruang keluarga yang tadinya mirip-mirip arena kerusuhan, sudah mengosongkan bak cuci piring dan sudah mengabsen siapa yang sudah shalat isya dan yang belum. Ini baru urusan jam kerja shift malam, shift pagi beda lagi, shift siang dan sore juga lain urusannya (kayaknya istilah shift kaga cocok ya secara saya kerjanya borongan haha...).

Biasanya kalau ketemu ibu-ibu yang punya anak usia balita mereka bilang begini, wah mbak enak yaa...anaknya udah pada gede-gede. Ntar lagi dewasa, sudah nggak ngerepotin emaknya. Saya mah iya-iya aja, padahal beda usia beda pula jenis kerepotannya. Memang saya sudah agak lega tidak berurusan lagi dengan urusan gendong anak, menyuapi sampai berjam-jam, atau menunggui yang lagi rewel dan mengekspresikan kekesalan dengan menangis meraung-raung. Di usia anak-anak saya sekarang saya beralih sibuk mengajarkan disiplin dan tanggung jawab semisal urusan mengatur kamar, shalat tepat waktu, menyeimbangkan antara belajar dengan bermain dll sebagainya. Repotnya sama? Menurut saya iya, kasusnya saja yang beda. Semakin bertambah usia mereka, pendekatan yang kita pakai pun dituntut semakin 'maju'. Tidak mempan lagi cara-cara menakuti atau mengancam, asiknya mereka sudah bisa mulai diajak berkomunikasi secara orang dewasa. Kesulitannya ya itu, sebagai panutan, kita para orang tua harus lebih mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dan mampu mencontohkan hal-hal yang kita nasehatkan kepada mereka. Jangan emaknya malas bangun shalat subuh lantas teriak-teriak anaknya malas shalat. Jangan emaknya hobi pamer aurat terus berharap anaknya berpenampilan santun. Ini sekedar contoh yaa...

Suatu hari beberapa tahun silam, seorang teman bertanya bagaimana saya bisa menangani sedemikian banyak bocah dan tetap sabar. Pertanyaan seperti ini pun yang kerap mengelabui penilaian mereka terhadap saya. Sabar apanya, itu pencitraan hahaha... Kadang kalau dipuji sebagai emak super, saya sering gigit jari sendiri. Rasanya seperti ditampar kiri kanan depan belakang. Orang-orang tidak melihat langsung apa yang terjadi dalam proses saya membesarkan anak. Terkadang habis marah-marah saya masuk kamar dan menyesal, kok segitu mudahnya memarahi anak. Kadang kalau ada yang berantem pake silat ala Bruce Lee, saya hadiahi kaki yang menendang itu sebuah pukulan yang pedis. Biasanya habis begitu, tangan saya berasa kotorrrr banget. Atau sekedar menjewer pelan telinga mereka, tangan saya yang seperti merasakan sakit di telinga mereka. Maunya minta maaf tapi gengsi sebagai orang tua selangit-langit. Makanya daripada bergelimang dengan rasa bersalah yang tidak sehat, saya lebih suka berpanjang-panjang menasehati dan memberi pengertian bahwa kesalahan yang mereka buat tidak membawa kebaikan sama sekali. Mudah? Tidak sama sekali. Kalau sudah saya nasehati berkali-kali dan masih 'ngeyel' juga saya ingatkan diri sendiri bahwa saya pun pernah berada dalam fase itu. Fase di mana saya ingin mencoba segala sesuatunya tanpa menimbang keburukan atau bahaya yang diakibatkan oleh tindakan saya. Fase di mana saya merasa 'melawan' itu adalah tindakan keren menuju yang namanya menjadi dewasa. Belakangan saya pakai sistem denda atau hukuman menulis berlembar-lembar kalimat yang sama yang mereka benci betul mengerjakannya. Menurut saya, pagar semacam ini jauh lebih mendidik ketimbang menyakiti secara fisik. Mereka jadinya lebih paham atas konsekuensi sebuah tindakan dan belajar mengendalikan diri.

Balik pada pertanyaan teman tadi, saya menjawab begini: bayangkan suatu hari anak-anak yang merepotkanmu itu tidak ada. Apakah hidupmu akan jauh lebih baik? Saya tahu di luar sana ada ibu-ibu yang kerap membayangkan dunia yang ideal tanpa direpoti urusan anak. Mereka konon bisa liburan, duduk-duduk di mall sepanjang sore bersama teman-teman, melakukan hal-hal yang menyenangkan lainnya tanpa hiruk pikuk suara tangisan, rengekan, atau hal-hal yang menguras kesabaran lainnya. Percayalah, jika anda benar mampu tiba pada masa 'emas' seperti itu, akan ada sesuatu yang terasa hilang dari dalam diri anda. Sesekali saya diijinkan berpergian oleh suami, tapi begitu di pesawat yang terbayang adalah wajah anak saya. Tiba di tempat liburan di mana saya semestinya bersuka cita, saya malah sibuk menelepon memastikan semuanya baik-baik saja. Jadi berasa kaga liburan ya, sindir adik saya pernah. Jadi sebenarnya, bayangan ideal yang ada di pikiran kita ibu-ibu penuh emosi jiwa ini sebenarnya tidak ada. Yang kita jalani sudah kehidupan yang ideal yang sebenarnya. Andai-andai itu hanyalah sampah dari suasana hati yang sedang dipengaruhi lelah fisik dan emosi sesaat. Karenanya penting sekali kita sebagai emak-emak ahli urusan domestik punya waktu jeda barang sejam atau dua jam dalam sehari untuk diri kita sendiri. Entahkah melakukan hal yang kita suka semacam ngiderin status fesbuk teman, posting-posting hasil masakan di path atau sekedar mandi berlama-lama sambil luluran dan merasa cantik lagi. Me time, begitu konon istilahnya, tidak melulu harus nyalon, facial, shopping-shopping atau sesuatu yang mengeluarkan budget yang kadang justru menimbulkan stres lainnya sebab uang belanja bulanan tekor, hahaha... Me time tiap orang ya harus dinikmati dengan cara sendiri-sendiri, sesuai dengan minat dan passion orang yang bersangkutan. Me time saya kebanyakan saat berkendara menjemput bocah. Dua puluh menit bisa muter cd lagu kesukaan sambil bernyanyi-nyanyi tanpa ada yang menudingmu gila, itu sudah luar biasa lho. Atau pas malam begini nungguin suaminya yang suka korupsi waktu kerjanya, menulislah saya ala penulis motivator dan kalianlah yang harus menanggung derita akibat curhat saya yang selalu kepanjangan... :D

Tiap anak-anak berangkat sekolah, saya masih disuguhi 'sarapan' yang sama. Kamar yang dirapihkan asal-asalan, buku dan pulpen ditaruh sembarangan, karpet penuh potongan-potongan robot si Ocan, bungkus makanan di mana-mana, gelas ada di mana, piring ada di sana, belum barang-barang anak paling besar alias suami yang berceceran di kamar. Kadang hati lagi senang, dipungut sambil bersenandung. Kalau hati lagi galau, tetap dibereskan secara siapa yang saya tunggu membereskan? Hiks... Kalau lagi datang errornya, apa-apa yang tidak diurusi pemiliknya saya taruh di luar pintu. Wah, sibuk dah mereka ngumpulin barang-barangnya dengan muka kecut. Tapi biasanya besok begitu lagi, berantakan lagi, soalnya mereka sudah hapal mati kalau emaknya lebih memilih disuruh kerja dan repot dibanding harus menyaksikan rumah yang berantakan.

Pernah ndak terlintas, suatu hari anak-anak itu berhenti meninggalkan 'jejak-jejak' mereka di sekitarmu? Tidak ada makanan atau minuman yang tumpah berceceran, tidak ada isi lemari yang berantakan, tidak ada lantai kotor bekas sepatu, tidak ada baju kotor yang diselip di antara tumpukan buku. Rumahmu mendadak tenang, bersih, teratur persis seperti yang kau impi-impikan sejak lama. Lalu pada detik berikutnya kau sadar, kau merindukan semua hiruk pikuk dan kerepotan itu. Kau mendadak merasa tidak berguna tanpa karpet yang penuh mainan berceceran, plastik sisa makanan bahkan kau berharap kau bisa mengepel lantai yang kotor berkali-kali asalkan mereka kembali. Saat itu saat di mana mereka sudah tumbuh dewasa dan pergi berjuang membangun kehidupannya sendiri, meninggalkanmu demi kata ketenangan dan kesempatan untuk menikmati waktu yang lebih luang, tapi ternyata kau tak pernah benar-benar membutuhkannya. Kau merindukan menemukan 'jejak-jejak' bocah-bocah kecilmu, menyesali mengapa dulu kau tak benar-benar menikmati petualangan bersama mereka sebelum akhirnya waktu meminta mereka harus berhenti bermain.

Lihat jejak-jejak itu sekarang, Moms... Telusuri dan nikmati sampai kau benar-benar puas. Menjadi seorang Ibu bukan perkara ikhlas, surga atau pahala semata. Menjadi Ibu adalah perkara bersenang-senang selagi anak-anakmu masih ada di sekelilingmu :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar