Selasa, 16 Desember 2014

GIOK (Bagian Satu)

--Selama perjalanan sejarah setelah ditemukan, giok telah dikenal sebagai asesoris dan perhiasan selama ribuan tahun yang lalu oleh peradaban manusia. Bahkan juga diagungkan sebagai "batu penyelamat" bahkan sebagai "batu kesehatan" oleh suku-suku bangsa di Asia Timur dan di benua Afrika ataupun Amerika termasuk oleh suku Maya dan Inca.--

Ibuku kerap bercerita tentang dirinya seperti ini;
"Dia lahir seukuran botol susu bayi. Kecil, sangat kecil. Dulu, kami menjual macam-macam barang kebutuhan pokok di toko. Pelanggan kami kebanyakan adalah para pelaut dari pulau Buton. Tiap perahu mereka merapat, berbondong-bondong mereka datang membeli berbagai keperluan yang akan dijejalkan ke perahu mereka untuk dibawa pulang. Gula, tepung terigu, dan macam-macam bahan makanan. Tapi susu bayi selalu tak sempat dijual. Susu-susu impor itu habis diminum olehnya, tapi herannya tubuhnya tak juga menggemuk. Ah, barangkali sudah keturunan. Ayah ibunya berperawakan kecil dan bertubuh kurus. Ibunya hanya pandai melahirkan, setelah itu, setelah tahu anaknya terlahir cacat, ditinggalkannya anaknya begitu saja. Ayahmu yang membawanya pulang, menyuruhku merawatnya. Kau lihat, ayahmu terkadang keras dan garang seperti singa, tak sampai hati juga ia menelantarkan kemenakannya. Kuasuh ia sejak kecil, membiarkannya memanggilku dengan sebutan Mama Yah. Sampai SMA, ayahmu menyekolahkannya. Tak terlalu pintar, tapi ia juga tak bisa dibilang bodoh. Ia sangat pandai membantu bibimu menjual pakaian di pasar. Pandai membujuk pembeli untuk datang dan datang lagi. Andai ia tak cacat, andai ia bisa bicara dengan normal, tentulah hidupnya jauh lebih bahagia...."

Cacat yang dimaksud adalah suara sengau yang keluar dari mulutnya setiap kali ia bersuara. Jika kau baru pertama kali bertemu dengannya, kau mungkin akan tersesat dalam sengau yang dilantunkannya. Ya, kau harus berlatih agar mahir menangkap makna kata-kata yang dilontarkannya. Selebihnya, ia perempuan yang gesit dan ramah. Pandai berteman dengan siapa saja, gemar menolong, perempuan yang di dalam tubuh kecilnya berkobar semangat hidup begitu tinggi.

Selepas dari pengasuhan ayahku, pada usia belasan tahun ia kembali ke rumah ibunya. Ibunya, perempuan yang dipanggil dengan sebutan Mamak Teng itu, perempuan yang pandai menebarkan teror manakala kau berada di dekatnya. Saat aku kecil, aku selalu tak mau jauh-jauh dari ayahku. Sering tangannya mampir ke lenganku, memberi sengatan semacam gigitan semut besar. Atau, tatkala ayahku sibuk mengobrol dengan saudaranya yang lain, ia akan membulatkan matanya besar-besar tanda mengancam. Kurasa, Mamak Teng adalah monster berwujud manusia pertama yang datang mengganggu tidurku. Ia perempuan yang sangat mengerikan, percayalah. Giginya besar-besar memanjang, suaranya melengking mirip suara perempuan jadi-jadian yang pernah kutonton dalam sebuah film horor. Dan yang paling mengenaskan tentang dirinya adalah ia pandai sekali bersiasat demi membuat orang yang tak disukainya terluka. Matanya bersinar-sinar memancarkan kebencian saat menemukan sesuatu yang baik menghampiri orang lain. Ayahku kerap membisikiku sesaat sebelum bertemu dengannya. "Jangan kau bilang jam tanganmu itu baru, ya? Bilang saja jam tangan lama yang jarang kau pakai." Atau; "Jangan bilang-bilang kalau kulkas kita baru diganti. Diam-diam saja. Nanti hatinya tak senang."

Konon, Mamak Teng lahir pada saat bulan sedang lancip selancip-lancipnya. Pertanda tidak baik, menurut orang-orang tua dahulu. Hidupnya akan tajam dan seciut bulan lancip itu. Lahir sebagai anak bungsu, Mamak Teng sangat dimanja oleh Nenek. Ia kerap berteriak-teriak demi keinginannya dipenuhi. Anak perempuan yang sungguh menyusahkan tapi entah mengapa Nenek teramat mengagungkannya. Jaman ia muda, tutur ibuku, Mamak Teng sebenarnya lumayan jelita. Kulitnya putih bersih, wajahnya campuran tionghoa pribumi, ia pandai berdandan, karenanya banyak lelaki yang antri untuk meminangnya. Entahkah karena hal bulan lancip selancip-lancipnya tadi ataukah memang sudah garis hidupnya, ia jatuh ke pelukan seorang lelaki yang tak menentu pekerjaannya. Dari lelaki itu, ia mendapatkan dua putri. Perempuan bersuara sengau tadi salah satunya. Mereka kemudian berpisah tanpa bercerai, lelaki itu menikah lagi. Tidak berapa lama Mamak Teng kembali menemukan lelaki idamannya. Lelaki yang nantinya menghadiahinya segunung kesulitan hidup sebab lelaki ini amat suka berjudi dan menipu demi menafkahi keluarganya.

Ibuku mengajariku sejak kecil, kata-kata yang kita keluarkan terkadang bertulah. Pada saat mengandung anak pertamanya, Mamak Teng pernah mengejek seorang cacat dengan suara sengau sembari tertawa-tawa. Itu terjadi di tengah-tengah ramai orang, di daerah Pelabuhan Paotere, tempat tinggal ayahku sebelum aku lahir. Setelahnya, Tuhan menghadiahinya seorang anak perempuan yang bersuara sengau, persis seperti orang yang diejeknya. Tuhan mungkin hanya ingin membuatnya berhenti menertawakan manusia lain yang sesungguhnya Ia ciptakan tidaklah atas dasar kesia-siaan belaka. Hanya saja aku kerap jatuh kasihan pada anak perempuan itu sendiri. Mengapa justru ia yang harus menanggungkan dosa ibunya seumur hidupnya?

Bagaimanapun juga, meski kisah itu kerap diulang-ulang dan terdengar oleh telinga perempuan bersuara sengau tadi, tak pernah ia balik menuding ibunya sebagai penyebab hidupnya yang sulit. Mungkin ia pun sebenarnya kecewa pada ibunya seperti ibunya selalu menyesali kehadiran dirinya, tapi apa mau dikata? Mereka terlanjur terikat pada pertalian yang telah disimpul mati oleh Tuhan. Dan tak pernah ada sebutan bekas anak. Apalagi bekas ibu.

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar