Selasa, 16 Desember 2014

GIOK (Bagian Satu)

--Selama perjalanan sejarah setelah ditemukan, giok telah dikenal sebagai asesoris dan perhiasan selama ribuan tahun yang lalu oleh peradaban manusia. Bahkan juga diagungkan sebagai "batu penyelamat" bahkan sebagai "batu kesehatan" oleh suku-suku bangsa di Asia Timur dan di benua Afrika ataupun Amerika termasuk oleh suku Maya dan Inca.--

Ibuku kerap bercerita tentang dirinya seperti ini;
"Dia lahir seukuran botol susu bayi. Kecil, sangat kecil. Dulu, kami menjual macam-macam barang kebutuhan pokok di toko. Pelanggan kami kebanyakan adalah para pelaut dari pulau Buton. Tiap perahu mereka merapat, berbondong-bondong mereka datang membeli berbagai keperluan yang akan dijejalkan ke perahu mereka untuk dibawa pulang. Gula, tepung terigu, dan macam-macam bahan makanan. Tapi susu bayi selalu tak sempat dijual. Susu-susu impor itu habis diminum olehnya, tapi herannya tubuhnya tak juga menggemuk. Ah, barangkali sudah keturunan. Ayah ibunya berperawakan kecil dan bertubuh kurus. Ibunya hanya pandai melahirkan, setelah itu, setelah tahu anaknya terlahir cacat, ditinggalkannya anaknya begitu saja. Ayahmu yang membawanya pulang, menyuruhku merawatnya. Kau lihat, ayahmu terkadang keras dan garang seperti singa, tak sampai hati juga ia menelantarkan kemenakannya. Kuasuh ia sejak kecil, membiarkannya memanggilku dengan sebutan Mama Yah. Sampai SMA, ayahmu menyekolahkannya. Tak terlalu pintar, tapi ia juga tak bisa dibilang bodoh. Ia sangat pandai membantu bibimu menjual pakaian di pasar. Pandai membujuk pembeli untuk datang dan datang lagi. Andai ia tak cacat, andai ia bisa bicara dengan normal, tentulah hidupnya jauh lebih bahagia...."

Cacat yang dimaksud adalah suara sengau yang keluar dari mulutnya setiap kali ia bersuara. Jika kau baru pertama kali bertemu dengannya, kau mungkin akan tersesat dalam sengau yang dilantunkannya. Ya, kau harus berlatih agar mahir menangkap makna kata-kata yang dilontarkannya. Selebihnya, ia perempuan yang gesit dan ramah. Pandai berteman dengan siapa saja, gemar menolong, perempuan yang di dalam tubuh kecilnya berkobar semangat hidup begitu tinggi.

Selepas dari pengasuhan ayahku, pada usia belasan tahun ia kembali ke rumah ibunya. Ibunya, perempuan yang dipanggil dengan sebutan Mamak Teng itu, perempuan yang pandai menebarkan teror manakala kau berada di dekatnya. Saat aku kecil, aku selalu tak mau jauh-jauh dari ayahku. Sering tangannya mampir ke lenganku, memberi sengatan semacam gigitan semut besar. Atau, tatkala ayahku sibuk mengobrol dengan saudaranya yang lain, ia akan membulatkan matanya besar-besar tanda mengancam. Kurasa, Mamak Teng adalah monster berwujud manusia pertama yang datang mengganggu tidurku. Ia perempuan yang sangat mengerikan, percayalah. Giginya besar-besar memanjang, suaranya melengking mirip suara perempuan jadi-jadian yang pernah kutonton dalam sebuah film horor. Dan yang paling mengenaskan tentang dirinya adalah ia pandai sekali bersiasat demi membuat orang yang tak disukainya terluka. Matanya bersinar-sinar memancarkan kebencian saat menemukan sesuatu yang baik menghampiri orang lain. Ayahku kerap membisikiku sesaat sebelum bertemu dengannya. "Jangan kau bilang jam tanganmu itu baru, ya? Bilang saja jam tangan lama yang jarang kau pakai." Atau; "Jangan bilang-bilang kalau kulkas kita baru diganti. Diam-diam saja. Nanti hatinya tak senang."

Konon, Mamak Teng lahir pada saat bulan sedang lancip selancip-lancipnya. Pertanda tidak baik, menurut orang-orang tua dahulu. Hidupnya akan tajam dan seciut bulan lancip itu. Lahir sebagai anak bungsu, Mamak Teng sangat dimanja oleh Nenek. Ia kerap berteriak-teriak demi keinginannya dipenuhi. Anak perempuan yang sungguh menyusahkan tapi entah mengapa Nenek teramat mengagungkannya. Jaman ia muda, tutur ibuku, Mamak Teng sebenarnya lumayan jelita. Kulitnya putih bersih, wajahnya campuran tionghoa pribumi, ia pandai berdandan, karenanya banyak lelaki yang antri untuk meminangnya. Entahkah karena hal bulan lancip selancip-lancipnya tadi ataukah memang sudah garis hidupnya, ia jatuh ke pelukan seorang lelaki yang tak menentu pekerjaannya. Dari lelaki itu, ia mendapatkan dua putri. Perempuan bersuara sengau tadi salah satunya. Mereka kemudian berpisah tanpa bercerai, lelaki itu menikah lagi. Tidak berapa lama Mamak Teng kembali menemukan lelaki idamannya. Lelaki yang nantinya menghadiahinya segunung kesulitan hidup sebab lelaki ini amat suka berjudi dan menipu demi menafkahi keluarganya.

Ibuku mengajariku sejak kecil, kata-kata yang kita keluarkan terkadang bertulah. Pada saat mengandung anak pertamanya, Mamak Teng pernah mengejek seorang cacat dengan suara sengau sembari tertawa-tawa. Itu terjadi di tengah-tengah ramai orang, di daerah Pelabuhan Paotere, tempat tinggal ayahku sebelum aku lahir. Setelahnya, Tuhan menghadiahinya seorang anak perempuan yang bersuara sengau, persis seperti orang yang diejeknya. Tuhan mungkin hanya ingin membuatnya berhenti menertawakan manusia lain yang sesungguhnya Ia ciptakan tidaklah atas dasar kesia-siaan belaka. Hanya saja aku kerap jatuh kasihan pada anak perempuan itu sendiri. Mengapa justru ia yang harus menanggungkan dosa ibunya seumur hidupnya?

Bagaimanapun juga, meski kisah itu kerap diulang-ulang dan terdengar oleh telinga perempuan bersuara sengau tadi, tak pernah ia balik menuding ibunya sebagai penyebab hidupnya yang sulit. Mungkin ia pun sebenarnya kecewa pada ibunya seperti ibunya selalu menyesali kehadiran dirinya, tapi apa mau dikata? Mereka terlanjur terikat pada pertalian yang telah disimpul mati oleh Tuhan. Dan tak pernah ada sebutan bekas anak. Apalagi bekas ibu.

-bersambung-

Kamis, 11 Desember 2014

Rahma, apa kabarmu?

Rahma....

Satu tahun berlari seperti mengerdipkan mata dan tahu-tahu kau sudah tak ada. Apa kabarmu? Mungkin harus kucari dirimu di antara awan putih yang berarak perlahan di antara langit pagi ini. Atau di antara gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu di mana ingatanku akan selamanya tertinggal di sana. Masihkah kau sehangat dulu? Masihkah kau suka menghibur kawan-kawan barumu di sana seperti yang kau lakukan dulu terhadap kami?

Berapa usia pertemanan kita? Dua puluh tahun? Aku pernah bilang, suatu hari saat kita menua, saat lutut kita telah goyah dan putih mendominasi helai-helai rambut yang tumbuh di kepala kita, kita akan duduk bersama di sebuah studio foto, mengulang apa yang pernah kita lakukan berpuluh tahun yang lampau dan tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. Satu cuplikan yang indah sebelum kita saling berpamitan dan ikhlas saling melepaskan. Foto itu nantinya kita bingkai dan masing-masing kita berikan ke cucu kita yang sudah beranjak remaja. Biar nenek sudah tidak ada, foto ini biarlah tetap di dinding, supaya kalian ingat, nenekmu ini adalah seorang perempuan yang bahagia sepanjang hidupnya sebab selalu memiliki mereka. Ya, aku yang kuat dan bahagia karena kalian. Teman-temanku.

Kau dan aku adalah yang paling sering melewatkan sesi foto bersama. Kau yang merantau selepas SMA, aku yang pergi mengikuti ke mana langkah lelakiku pergi. Setahun atau dua tahun sekali, selalu tak cukup untuk memberitahumu segala hal yang aku lalui atau mendengarmu menceritakan tempat-tempat yang sudah kau singgahi. Tapi kita selalu bersyukur untuk bermenit-menit kesempatan yang diberikan Tuhan demi mengurai rindu. Kita saling memeluk dan tertawa seperti dulu.

Kita dulu tak disentuh teknologi canggih semacam telepon genggam, yang membuat kita tak punya banyak foto selfie selain beberapa lembar kenangan yang sempat diabadikan di kamera milik Indah. Tapi entah mengapa, setiap ekspresi, senyuman, tawa dan suaramu bukan hal yang sulit untuk diingat kembali. Kau yang abadi dalam ingatanku dalam seragam putih abu-abu, langkahmu yang gagah, rambutmu yang mengibar kaku membuat image-mu semakin seram. Kulitmu legam, yang selalu jadi bahan olokan kami bahkan di saat-saat kau akan mempersiapkan pernikahanmu. Ada gunanya tidak kau mandi uap dan luluran? ejek kami bersahut-sahutan di grup bbm waktu itu. Kau mengabarkan akan menikah saja, sudah membuat kami takjub. Bukan karena meragukan sisi kewanitaanmu, bukaaaannn. Perkaranya, sepanjang kami mengenalmu, kau jatuh bangun dalam hal percintaan. Yang kami tunggu adalah kenyataan, tetapi yang terjadi kebanyakan adalah kau berpindah dari satu hati ke hati lainnya tanpa realisasi yang jelas. Ah, Rahma... Maafkan, kubongkar sedikit masa lalumu yang suram. Masa-masa di mana menggodamu setiap kali kecenganmu melintas adalah sesuatu yang sangat memuaskan hati kami.

Yang kutahu, kau itu sejenis manusia sabar yang tak pernah pusing harus tampil seperti apa di depan orang-orang. Habis-habisan kau kami cela, tak pernah berakhir menjadi sebuah permusuhan. Aku mencuri semangat setiap pagi dari dirimu, itu yang mungkin tak kau sadari. Segala hal yang sulit bisa berubah menjadi lucu jika kau yang menceritakannya. Belum lagi jika kau menularkan tawamu yang sungguh tak sopan untuk ukuran tawa seorang anak gadis. Kau yang terlalu apa adanya.

Rahma, aku sedang memunguti satu persatu rasa rinduku yang kubiarkan berceceran di lantai kamarku. Dan aku tersenyum-senyum, mungkin seperti itulah yang seharusnya terjadi saat mengenang seseorang seperti dirimu. Kabarmu bertahun-tahun tak pernah jelas di telinga kami. Setiap pertemuan pun tak pernah kau uraikan apa kesulitanmu, letihkah kau bertahun-tahun menjadi tumpuan ibu dan adik-adikmu selepas ayahmu pergi? Harusnya aku banyak-banyak bertanya selagi ada kesempatan, supaya mungkin bisa kubagi sedikit kekuatanku kepada dirimu lewat beberapa patah kata. Ah, sesal itu memang selalu datang terlambat ya, Rahma? Seperti sesalku hari ini, belum bisa membuatkanmu sebuah buku.

"Mimi is very good in writing. She writes for woman magazine sometimes, and you know what? She's also good in singing.... She's so talented!"

Di pertemuan kita terakhir, di sebuah kedai kopi bersama suamimu, aku hampir saja melorot dari tempat dudukku dan memilih bersembunyi di kolong meja. Satu cerpen plus satu cerber yang pernah dimuat di sebuah majalah wanita, itu yang kau sebut sebagai 'very good in writing'? Diam-diam saja aku menanggapi pujianmu sembari mencoba mengalihkan pembicaraan. Kau membuatku merasa sangat berdosa, dengan ekspektasi setinggi itu, aku justru sedang merayap di dasar kepercayaan diriku sendiri. Tak ada waktu untuk menulis, kilahku. Kau terus menyemangatiku tanpa sadar betapa putus asanya sebenarnya aku. "Tulisanmu itu kau tahu, Mei-Mei... Tanpa aku lihat siapa penulisnya, aku sudah tahu ini pasti kau yang menulisnya...."

Kau tahu? Mudah-mudahan kau tersenyum di sana saat membaca ini; aku sekarang sedang belajar kembali mengasah kemampuanku demi membuatmu tersenyum. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk seorang teman dengan hati selembut dirimu? Satu tahun sudah kau tak memberi kabar. Satu tahun sudah tak kau ijinkan kami tahu apa yang sedang kau lakukan di sana. Yang kami tahu, kau meninggalkan banyak sekali pertanyaan yang tak mampu kami temukan jawabannya. Sesaat setelah kami semua mensyukuri akhirnya kau yang mungkin lelah kini dipertemukan dengan seorang lelaki muslim yang baik yang bersedia ikut memikul bebanmu, lalu hal-hal menakjubkan terasa terus menghujani kehidupanmu, berita kehamilanmu yang kembali menerbitkan keisengan kami mempertanyakan seperti apa kelak rupa dan kulit anak kalian, lalu Tuhan menutup buku kehidupanmu begitu saja. Selesai.

Rahma... Boleh kuberitahu kau sesuatu? Suamimu yang tampan itu beberapa hari yang lalu tengah bersiap terbang dari Malaysia menuju Makassar demi mengunjungi ibumu. Ia bertanya, apakah aku bersedia menerima buku-buku bacaan yang kau tinggalkan? Kau tahu, aku berusaha tak sering-sering menyapanya atau mengajaknya berbincang. Membuatku kelu, membuatku ingin menyalahkan takdir, mengapa seorang lelaki yang sedemikian baiknya untukmu harus sedemikian singkatnya kau nikmati kehadirannya? Mengapa kalian tak dibiarkan hidup menua bersama? Ia memujamu dan dalam setiap kalimat ia memintaku mendoakan dirimu. Ia bercerita betapa bahagianya saat kau hamil dan di saat yang bersamaan ia harus hancur karena kenyataan itu yang justru mengantarkan kau pergi. Perempuan yang kugambarkan kepadanya persis seperti perempuan yang ia gambarkan kepadaku. Rahma yang penuh kasih sayang dan pengertian. Rahma yang tak pandai marah. Rahma yang kerap bercerita tentang teman-teman karibnya. Rahma yang mungkin menanggungkan rindu yang teramat berat tetapi memilih sabar sebagai teman dalam menjalani hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

"Maafkan saya belum mampu memakai jilbab, Mei-Mei... Saya tak mau sekedar ikut-ikutan, tidak sebelum hatiku benar-benar mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan perbuatanku. Kau mengerti, Mei-Mei?"

Siang itu, kabarmu melintas dari negeri nun jauh. Aku tak mampu merapal doa sebab sesuatu seperti mengunci seluruh tubuhku sebab ini sebuah kenyataan yang tak pernah terlintas dalam benakku akan terjadi. Pembuluh darahmu pecah dipicu oleh kehamilanmu yang masih berusia dini, kau pun kehilangan kesadaran. Tak ada yang tahu apa yang kau pikirkan saat kau terbaring ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiranmu. Kau yang hanya ditunggui suamimu, ibu dan adik laki-lakimu yang segera terbang begitu mendengar kabar sakitmu. Dari yang kudengar, kau tak bangun lagi menyapa ibumu hingga sore itu kau dijemput pergi. Dari matamu yang tertutup, sempat mengalir beberapa tetes butiran air sesaat setelah ibumu datang di sisimu. Mungkin kau hendak berpamitan pada perempuan sederhana yang kau warisi kebaikan hatinya itu.

Kematian itu selalu jadi misteri besar bagi kita, kini kau yang pertama di antara kami berenam yang berhasil menguaknya. Adakah sesulit yang diceritakan orang-orang tentang perjalanan ke sana? Ataukah justru seperti yang kami harapkan, Allah membentangkan jalan yang indah bagi seorang perempuan sebaik dirimu?

Rahma... Sampai bertemu nanti. Bagiku, kau tak kemana-mana. Kau akan selalu bisa kutemukan dalam gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu. Dalam secangkir kopi hitam yang menguarkan kenangan tentang dirimu di pertemuan terakhir kita dua tahun yang lalu di sebuah kedai kopi di kampung halaman kita. Dalam beberapa lembar foto tua yang kujaga baik-baik, kutengok sesekali saat rindu begitu menjajah. Bahkan di antara awan putih yang berarak perlahan di langit sana.

Kau sungguh tak pernah pergi, Rahma...

Selasa, 02 Desember 2014

Mesin waktu

Pernahkah kau pada suatu masa begitu sulit memahami seseorang? Lalu kau menyerah, tetapi orang tersebut tak juga pergi meninggalkanmu, seberapa besarnya pun keinginanmu mencoba membuatnya pergi. Lalu, kau seberangi lautan, kau lintasi samudera, kau bergerak dari naungan langit yang satu ke naungan langit yang berikutnya, ia masih juga di sana tampak di pelupuk matamu?

Aku tak tak tahu apakah bangunan kecil itu layak disebut rumah. Mari kutuntun kau sedikit. Sebuah pagar berkarat yang berdecit-decit saat dibuka, sebagai permulaannya. Perempuan itu menyambutku dengan sedikit berbungkuk, tak membiarkanku menilai riak di matanya sebab kedua mata itu seperti hanya memperlihatkan dua buah garis pendek yang membosankan. Perawakannya kecil, sedikit kurus, seperti itulah mungkin kelak aku menjelma jika usiaku mencapai usianya. Aku bertahan di depan pagar berkarat yang telah terbuka lebar selama beberapa jenak. Menunggu-nunggu kemungkinan terbaik menghantamku, bertaruh dengan diriku sendiri yang sejak lama penasaran. Lalu, seperti ia langsung mengguyurkan seember air kekecewaan, demi membuatku kembali pada keadaan sadar. "Mari masuk..." begitu tukasnya. Biasa saja, tanpa nada yang penting yang menghanyutkan emosi seperti yang terjadi saat kau melantunkan sebuah lirik lagu sedih.

Jadi... Begini saja? Bertahun-tahun menimbun rindu yang tingginya nyaris mencapai langit, begini saja akhirnya? Beratus-ratus malam diam dalam gelap tersenyum-senyum menggambarkan serupa apa wajahnya dan sedikit mencemburui anak-anak yang beruntung berada dalam pelukannya, begini saja akhirnya? Sebuah pelukan yang hangat, beberapa tetes air mata haru, tentulah sudah cukup menghapus ketidakpastian yang hidup dalam diriku selama bertahun-tahun. Atau sebuah kata sederhana semacam 'maaf', yakinlah bahwa aku akan mengalahkan waktu dan kau akan kumaafkan detik itu juga. Tapi, begini saja akhirnya...?

Kutegar-tegarkan diri. Jika air mata adalah sebuah hal yang sangat mahal untuk ia buang percuma, maka akupun takkan membuang air mataku di sini. Berat hati kuajak kakiku mengayun, menghampiri sebuah kursi plastik yang disodorkannya kepadaku. Sebuah patung lelaki gundul berperut buncit yang tengah duduk, seakan menertawakanku. Wangi hio menebarkan aroma yang mengingatkanku pada masa kecilku sendiri. Patung seorang dewi cantik tak jauh dari lelaki gundul yang terus tertawa tadi, seperti hendak membisikkan sebait kalimat kebijaksanaan. Aku gagal mempercayainya. Ruangan ini seakan hendak membekapku hingga sesak nafasku. Kotak-kotak dus bertumpuk, barang-barang bekas berserakan, segala macam benda yang mungkin usianya lebih tua dari usiamu sendiri, ada di sini. Aku menebak-nebak layaknya seorang ahli penyakit jiwa, orang-orang yang hidup di dalam rumah ini sudah pastilah orang-orang yang terjebak dalam masa lalu.

Lalu, seperti layaknya pada tamu-tamu lainnya yang ia kenal, perempuan itu menuntun aku menyusuri sebuah koridor pendek yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang. Sebuah bambu panjang tergantung di atas kepala, tempat beberapa lembar pakaian kering disampirkan. Ada dua ruangan tidur berukuran kecil yang kulewati sepanjang koridor itu. Dua ruangan yang dipergunakan oleh perempuan itu dan lelakinya untuk beristirahat. Tidak untuk tidur bersisian, tidak ada kemungkinan tidur berpelukan, bahkan untuk saling menatap sekalipun. Kedua ruangan itu dibatasi sekat sebuah triplek tipis yang telah dipaku mati. Mereka tidur sendiri-sendiri dalam arti yang sebenarnya.

Sebuah kotak ajaib kecil tempat ia mencuri lihat kehidupan di luar dunianya, menyambut kami. Pun, di ruangan sempit yang langsung bersambung dengan dapur dan kamar mandi ini, kotak-kotak kardus dan barang masih menjadi penguasa. Di sebuah meja kecil yang menempel di tembok, diapit sebuah lemari pakaian berbau apak dan sebuah lemari pendingin yang usianya nyaris sama dengan usiaku, di situ biasa aku berhenti. Meja itu bahkan tak cukup untuk dua orang dewasa. Perempuan itu setidaknya tuan rumah yang baik, dijamunya aku apa saja yang sedang dimasaknya. Yang paling aku gemari adalah masakan khas sup ayam kampung muda berkuah hitam. Yang rasanya pahit menguarkan aroma akar-akar obat yang khas. Di tahun-tahun berikutnya aku sadar, seperti itulah aku mengenang perempuan itu. Pahit.

Dulu, sepulang kuliah, aku sering duduk berlama-lama mendengarnya bercerita. Semua informasi yang diperolehnya dari kotak ajaib itu diceritakannya kembali kepadaku lengkap dengan analisanya. Entahkah ia yang berhasil 'menguasai' kotak ajaib itu ataukah sebaliknya. Perempuan itu bahkan mahir mendramatisir sebuah aib seapik yang dilakukan oleh seorang Feni Rose. Ia adalah contoh yang sempurna betapa mumpuninya sebuah media dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Aku tak membantahnya, dengan kata lain aku kesulitan menyela. Kuiyakan saja dengan sesekali bergumam... Oohh... Masa? .... Astaga! Pun ketika ia mulai mencela ini dan itu, kutelan bulat-bulat saja celaannya yang pedas nian rasanya. Hampir segala hal salah atau harus dikoreksi menurutnya. Ia terlalu sempurna untuk dunia yang sangat mengecewakan ini.

Di setiap kesempatan, pasti selalu ada waktu untuk mencela sebuah nama. Lelaki itu, lelaki yang tidur di sebelah kamarnya, lelaki yang biasa kutemukan sedang duduk berjongkok tepat di depan pintu atau sedang duduk di sebelah mejanya yang bertaburan barang-barang mistis sembari mengipas-ngipas. Sesekali aku berharap, perempuan itu mau saja menurunkan nada suaranya sedikit, supaya perbincangan ini tak berujung penyesalan di kemudian hari. Tapi rasa-rasanya ini semacam balas dendam yang tak selesai-selesai, meski segala jenis teknologi muktahir telah diciptakan demi kita bisa melangkah maju ke masa depan. Benci harus kukatakan, tebakanku di awal benar. Rumah ini membuat penghuninya terjebak dalam masa lalu.

Andai saja kita punya mesin waktu, ya? tukasnya suatu ketika padaku. Untuk apa? Serta-merta aku bertanya. Aku ingin kembali memutar ulang waktu, di mana aku bertemu lelaki itu. Aku tentu takkan menikah dengannya dan berakhir seperti ini. Aku diam, kali ini aku benar kelu. Jika saja mesin waktu itu benar-benar ada, maka kemungkinan terburuknya aku pun takkan mungkin ada hari ini. Tidakkah kehadiranku harusnya bisa membuatnya melupakan ide tentang mesin waktu itu? Aku yang tertemukan setelah belasan tahun 'dihilangkan dengan sengaja', tidakkah itu adalah sebuah pencapaian yang jauh lebih dahsyat ketimbang mesin waktu itu sendiri? Pahit benar.

Akupun sebenarnya tak mahir memaafkan, tetapi melihat dirinya, aku mau tak mau harus percaya, pintu hati tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Terkadang, sembari duduk di atas kursi plastik, sementara kata-kata berhamburan dari mulutnya dan saling bersilangan di udara di sekitarku, aku menghapus satu persatu gambar yang pernah kubuat tentang kehidupan mereka. Gambar-gambar itu terlalu ideal, bisik batinku merasa berdosa. Aku mencoba membuat gambar yang lain. Seorang anak kecil berusia sebaya diriku sedang tidur menggulung tubuhnya menjadi serupa bola, sementara sebelah tangannya menekan erat bantal yang menutupi telinganya. Seorang anak balita yang tadinya tidur memunggunginya, terbangun sebentar karena teriakan-teriakan itu. Tapi ia pun tak sanggup menyentuh punggung kakaknya, lalu ia pun menyalahkan dirinya karena tidur pada sisi yang salah. Di atas mereka, di tingkat atas tempat tidur bersusun itu, dua anak perempuan yang lebih tua usianya saling menautkan jemari, berbisik pelan-pelan dalam hati, memanggil Tuhan. Seorang anak lelaki lainnya, terperangkap di sebuah kamar di atas loteng yang sempit, memilih tetap di sana sebab ia tahu, walau anak laki-laki bernilai 'emas' dalam tradisi keluarganya, ia tetap tak diperhitungkan.

Mungkin saat itu tak ada piring yang berterbangan atau perabot kaca yang pecah berkeping-keping seperti yang terjadi di film-film drama. Mungkin yang ada hanya teriakan-teriakan saling menyalahkan, sederet daftar dosa yang dihamburkan dan tak layak untuk diampuni, sumpahan demi sumpahan tentang kekurangan masing-masing diri. Hingga mereka lelah, hingga mereka tidur sejenak mengembalikan kekuatan. Hingga esok malam mereka punya tenaga baru untuk saling mencaci. Hingga curiga adalah makanan sehari-hari. Terus-menerus, terus-menerus. Terus-menerus....

Kisah-kisah itu tentu tak kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku percaya hal itu benar terjadi. Seperti aku percaya, tidak semua manusia yang harus menelan penderitaan pahit dan dipaksa mengunyahnya pelan-pelan sampai lumat, berakhir menjadi kepingan-kepingan kegagalan. Perempuan-perempuan kecil yang menghabiskan malam-malam mereka dengan takluk dalam diam dan rasa takut itu, kini menjelma menjadi perempuan-perempuan yang mencengangkan. Setidaknya malam-malam menakutkan itu telah membuat mereka mampu memelihara sebuah tekad untuk kelak keluar dari dunia yang sempit yang diciptakan perempuan dan lelaki itu untuk mereka. Perempuan-perempuan kecil yang dipaksa berkompromi dengan segala macam kesulitan hidup, tekanan psikis selama berbelas tahun, tapi mampu meluaskan hatinya untuk setia mengamini ungkapan 'tidak ada yang namanya bekas orang tua'.

Betapa waktu mampu membuat kita kadang-kadang kelu. Gadis kecil yang dulunya terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya di saat usianya masih belasan tahun, yang harus mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang sarjana, kini mampu berdiri tegak mengambil alih semua kewajiban yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Ia yang kini yang begitu girang bisa memugar rumah tua berkenangan pahit itu menjadi sebuah rumah yang cantik dan semoga bisa menghangatkan seperti harapannya. Gadis kecil lainnya tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang sangat welas asih. Di luar membesarkan dua anak lelakinya yang menjelang remaja, ia aktif menyumbangkan tenaga, pikiran dan hartanya dalam sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Gadis kecil yang menutup telinganya dengan bantal pun telah berhasil mencapai pencapaian hidup yang bukan biasa-biasa. Ia terlalu ulet untuk diruntuhkan, ia bergerak sepanjang waktu membantu para pekerja yang butuh motivasi, padahal jika ia ingin, ia sebenarnya boleh berkeliling dunia dengan penghasilannya dari belasan apartemen miliknya yang ia sewakan. Dan si gadis bungsu yang dulunya kukira bisu sebab tak pernah terdengar mampu menyuarakan kehendaknya oleh karena hidup yang mengajarkannya untuk diam, kini telah melakukan sederet lompatan-lompatan besar dalam hidupnya. Setelah lulus di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Bandung dengan nilai sangat memuaskan, ia menyelesaikan dua buah program beasiswa di luar negeri. Kini, ia adalah seorang perempuan dewasa yang bekerja di bidang teknik informatika.

Sesekali, aku duduk bergabung dengan mereka, berbincang lepas tentang badai besar yang telah mereda di kehidupan mereka, yang kulewatkan sebab Tuhan maunya begitu. Tertawa-tawa, menangis, bersyukur, saling menguatkan, lalu mereka menudingku sebagai orang yang beruntung sebab pernah 'dihilangkan dengan sengaja'. Badai besar memang masih berkecamuk di atas kepala perempuan dan lelaki yang masih hidup satu atap tapi tak bertegur sapa itu. Mereka tak pernah bisa menemukan alasannya atau menyelesaikannya, rasanya tak ada yang sungguh-sungguh mampu. Entahkah ini sebuah contoh bahwa kebencian bisa hidup meraksasa dalam sebuah cinta, ataukah benar mereka sejak pertama tak pernah mencintai. Pun kalau benar seperti itu, mungkin perempuan-perempuan itu sudah tak punya air mata untuk meratapi kenyataan bahwa mereka memang lahir dari perempuan dan lelaki ini. Mudah-mudahan sampai mati mereka takkan menyerah memelihara 'maaf'. Mudah-mudahan sampai mati mereka tetap mencintai perempuan dan lelaki itu.

Ma, jika aku bisa memaafkan.... Jika mereka bisa memaafkan, mengapa Mama tidak?

Minggu, 30 November 2014

Perempuan itu juga Ibuku...

Lupa kapan persisnya, perempuan ini membolehkanku masuk ke dapurnya dan berlama-lama di situ. Ada banyak hal yang bisa membuatku berguna di sana, berhenti sejenak mencemaskan perutku yang membesar sebab kami belum menabung sepeser pun untuk biaya rumah sakit. Anak-anakku yang lain juga bebas berkeliaran, berlarian di sepanjang koridor rumahnya yang menghubungkan dapur dan bagian depan rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi sumber mata pencaharian keluarga itu. Toko Buku Hamdan, kau masih bisa menemukannya dengan kesederhanaannya yang masih serupa dulu. Bisnis keluarga yang dijalankan berpuluh tahun tanpa bantuan pegawai, yang pintunya selalu ditutup tepat beberapa saat sebelum suara adzan mengumandang.

Sebenarnya aku orang asing. Suamiku yang membuatku menjadi 'seseorang' di sana. Pemilik toko tak lain adalah pamannya, kakak lelaki satu-satunya yang dimiliki ibunya. Dua anak perempuan dan empat anak laki-laki, keluarga itu lengkap sudah. Tapi siapapun yang mengenal baik keluarga itu tahu, perempuan itulah permatanya. Perempuan sabar yang kubayangkan waktu muda parasnya pastilah sangat manis. Dan meski ia sudah berusaha belajar dengan baik agar bisa bercakap dalam bahasa Makassar, orang tetap bisa menebak darimana ia datang dari mendengar logatnya yang halus. Sebuah kota kecil bernama Cibatu di daerah Sukabumi, daerah tempat pengrajin senjata tajam tradisional semacam golok pusaka.

Aku tak sepandai dirinya dalam hal memasak, jadi kebanyakan yang kulakukan hanyalah mencuci perkakas dapur yang kotor, menyapu, sedikit bersih-bersih di halaman belakang yang cukup luas. Sesekali ia membiarkanku membuat kue kering, seringnya ia menyuruhku berhenti bergerak. "Duduk-duduk mi... sudah, jangan terlalu capek. Nanti sakit ki'..." Kata 'kita' dan 'ki'' dalam budaya orang Makassar adalah pengganti kata 'kau' dalam versi yang lebih tinggi/halus. Biasanya digunakan saat berbicara dengan orang yang dituakan, orang yang disegani. Dan ia satu-satunya orang yang dituakan di keluarga besar suamiku yang menggunakannya kepadaku. Tidak pernah kutanyakan mengapa, tapi hal itu yang membuatku semakin menghormatinya.

Suatu ketika saat aku selesai melahirkan anak ketiga, setiap pagi ia muncul di ujung tangga membawakan makanan untukku. "Jangan turun, di situ saja temani si kecil. Kalau baru habis melahirkan tidak boleh naik turun tangga...." Biasa kuambil makanan itu sembari cepat berbalik sebelum ia melihat mataku yang berkaca-kaca. Kami waktu itu menumpang di lantai atas rumahnya sebab kami belum punya cukup uang untuk mengontrak sebuah rumah. Ia pun kerap menyelipkan lembaran uang ke dalam tanganku sembunyi-sembunyi, seakan tahu aku sedang butuh uang untuk membeli susu. Anak-anakku pun selalu datang padaku dengan seplastik kue dan permen pemberian anak-anaknya. Di luar semua itu, aku bisa merasakan bahwa ia tetap menghargaiku sama seperti yang lain. Keadaanku yang serba sulit dan berkekurangan tak membuatnya merendahkan diriku, padahal jika ia mau, hal itu akan dimaklumi. Ia yang mengajarkanku kesabaran lewat perbuatan. Nasehatnya paling sederhana saja. "Sabar ki'..." Tapi dari ketekunannya mencintai hidup dan bagaimana ia terkadang terlihat begitu 'lemah' dalam menegakkan haknya sendiri, aku mengaku kalah. Dia adalah 'bulaeng na tau' -emasnya manusia... manusia yang harga dan kilaunya serupa emas.

Dulu, jikalau bebanku sudah tak tertanggungkan lagi, aku datang kepadanya. Aku bahkan tak sempat bicara apa-apa, ia tahu-tahu sudah memelukku dan menangis bersamaku. Punggungku diusap-usapnya pelan, usapan yang hampir tidak pernah kudapat lagi dari ibu yang memeliharaku sejak kecil ataupun ibu kandungku yang tak pernah pusing dimana aku berada. Aku mencintainya diam-diam, membawa setiap kenangan tentang dirinya untuk kujadikan alasan mengapa aku harus tetap berdiri. Kini, tak banyak lagi waktu yang bisa kuluangkan bercerita dengannya saat aku punya kesempatan kembali ke kampung halaman. Paling beberapa menit, berpelukan dan bicara lewat pandangan mata bahwa kami sama-sama rindu. Lebaran kemarin, keluarga besar berkumpul di rumahnya. Kusempatkan mencarikan rok dan  celana sekolah untuk Nita dan Hisyam di tokonya sebab saat belanja seragam di Banjar, ukuran untuk mereka habis. Uangku ditolaknya. Ia berkata, "Kenapa harus dibayar? Nita dan Hisyam cucuku juga." Basah lagi mataku dibuatnya.

Pagi ini sebuah pesan masuk dari putrinya yang tertua menanyakan kabar kami dan anak-anak. Ditutup dengan kalimat, "Iye, salam rindu juga dari Mama. Peluk cium dari Mama untuk kita'...."

Kalau boleh kukatakan, perempuan itu juga ibuku. Ibu yang mengajarkan cinta yang tanpa syarat. Ibu yang membuat kata rindu mengabadi.

Selasa, 18 November 2014

Selamat ulang tahun, Indah

Sayang saya tidak seberuntung yang lain... sepuluh tahun terakhir tidak banyak lagi waktu yg bisa diluangkan bersama Indah. Tapi setiap saya pulang kampung, bertemu beberapa jam, saya selalu pulang dengan rasa syukur. Allah memberi nikmat seorang sahabat yang walaupun diberkahi derajat yang tinggi, tapi dia selalu rendah hati. Membuat rindu. Menguatkan hati tiap mengingatnya.

Ini hari ulang tahunmu, hari lahirmu yang berulang. Kubayangkan Tante Baya dan Om Laica masih begitu muda, cantik dan gagah, tersenyum penuh syukur atas kelahiran putri bungsu mereka. Penggenap kebahagiaan. Kau mereka beri nama Indah Lestari. Kelak, berpuluh tahun dari waktu itu, kita semua sama-sama sepakat bahwa mereka tak salah memberimu nama.

Mari kugambarkan pada kalian sahabatku yang satu ini. Berawal dari sekolah tercinta SMA negeri 1 Makassar, aku yang tak punya banyak teman awalnya tak begitu tahu dirimu. Nurul teman sekelasku mengenalkanku pada dirimu, kalian dulunya bersekolah di sekolah yang sama. Tubuhmu mungil, suaramu khas, kau tak suka marah dan kau ke sekolah naik mobil diantar jemput seorang supir berkumis lebat tapi baik hati. Pak Anshar kalau aku tidak salah ingat namanya. Lalu momen yang mengasyikkan itu segera terjadi, kau, aku dan lima orang lainnya termasuk almarhumah Ama yang sudah pergi jauh meninggalkan kita, membuat geng. Perkenalkan, kami Teede. Jangan tanyakan artinya, sebab nama itu entah siapa yang mencetuskan, kepanjangannya kami buat setelah nama itu tertemukan. Terbalik sepertinya, tak apa sebab kami terlalu girang. Teede hanya sekedar pemuasan ego sekelompok anak perempuan usia belasan tahun yang takut dicap tidak keren lantaran tidak bisa menciptakan sebuah kelompok persahabatan. Haha...

Kau dan aku tak pernah sekelas. Menurutku itu karena kau terlalu pandai untuk sekelas denganku yang selalu merasa salah jurusan. Aku 'melamar' di kelas Sosial, lalu aku dijebloskan ke kelas Fisika. Kalian pasti bisa membayangkan betapa 'tertatihnya' aku belajar di sana. Tapi aku bercermin dari sikap disiplin dan bertanggungjawabmu. Bolos sekolah bukan tabiatku. Paling akan kau temukan aku di kursi belakang setengah tertidur atau manggut-manggut mengerti padahal kedua telingaku sedang tertutup earphone yang tersambung pada walkman yang kusembunyikan di dalam laci.

Walau tak sekelas, pertemuan kita bertujuh intens. Setiap pagi sebelum masuk kelas, jam istirahat, jam curi-curi keluar saat bosan dengan pelajaran di kelas, dan jam pulang sekolah. Aku sering nebeng di mobilmu saat pulang, entah untuk alasan apa. Rumahku hanya berjarak lima menit dari sekolah, tinggal menyeberang lalu masuk ke sebuah jalan pintas berkelok sebelum akhirnya tiba di rumahku. Entah awalnya kau yang mengajak ataukah aku yang minta diajak. Paling-paling kita cuma punya tiga menit bersama di atas mobil, lalu supirmu akan menginjak rem tepat di depan jalan pintas tadi. Dadah Memey.... Begitu biasa kau berucap dan akupun berlalu dengan sedikit bahagia sebab sudah bisa merasakan sejuknya pendingin udara di dalam mobilmu walau cuma sebentar.

Kau punya segalanya yang diimpikan seorang anak perempuan. Orang tua yang sangat pengertian dan baik hati, kakak-kakak yang penyayang, ayahmu dulu seorang pejabat tinggi negara, kau punya mobil sedan, rumahmu bagus... Aku masih ingat kamarmu dulu yang dipenuhi boneka layaknya kamar seorang anak gadis, pakaian-pakaian dengan label bermerek yang kerap membuatku menelan ludah. Aku semestinya iri dan menginginkan apa yang terjadi pada hidupmu menimpaku juga, tapi entah mengapa hal itu tidak pernah terjadi. Setengah mati jika ingin mencari celamu, kau kaya tapi murah hati. Kau punya ayah orang penting tapi kau sangat ramah. Kau naik mobil, tapi kau berteman dengan semua orang.

Tahun demi tahun berlalu, kita nyaris tak berjumpa lagi. Yang kuingat sekali waktu aku masih 'berkelana' dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lain, aku sesekali ke rumahmu demi menumpang makan dan tidur. Kau selalu menyambut tanpa banyak bertanya ini itu. Tanpa menggurui walau kau tahu masalah yang kuhadapi serumit labirin. Bahkan waktu aku jatuh sebenar-benarnya jatuh, kau tak pernah menghakimi; Mengapa kau lakukan itu?

Aku ingat, kau sangat rajin belajar. Kau bersungguh-sungguh. Dua pertiga malam biasanya kau bangun untuk melakukan shalat, lanjut ke dapur merebus dua butir telur yang akan kau santap dengan kecap manis. "Makanan apa itu?" tanyaku ingin tahu. "Ini untuk tambah energi, Memey. Besok aku mau ujian." Kau tidak tidur lagi hingga pagi, kau sibuk melafalkan sederet nama-nama latin yang memusingkan. Biasanya aku jatuh tertidur dan bangun mendapatimu sudah siap berangkat ke kampus. "Kau akan menunggu di sini, atau kuantar ke mana?" Aku biasanya memilih pergi. Kapan-kapan saat aku butuh numpang makan dan tidur lagi, aku pasti datang lagi.

Setelahnya kita kita jarang bertemu lagi. Aku datang bersama yang lain ke acara pernikahanmu, setelah itu kita saling melupakan sebentar. Aku tak tahu berita kelahiran anak-anakmu, kau tak datang saat anak-anakku lahir. Itu waktu jeda persahabatan kita, sebab dulu kita tak punya fesbuk atau path. Nokia pun masih jawaranya, tak perduli tak ada warna-warni di layarnya dan camera 360 belum tertemukan untuk membantu kita mengaburkan bekas-bekas jerawat dan flek di wajah. Kita berjibaku dengan hidup kita masing-masing, tapi tetap kuyakin di suatu detik di antara jeda itu, aku mengingatmu seperti kau mengingatku.

Lalu aku harus pergi. Merantau, benar-benar pergi meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Pergi mencari-cari di mana gerangan Allah sedang menyebarkan benih-benih rezekiku. Kau berhasil jadi dokter, begitu yang kudengar samar-samar. Lalu si jenius Yahudi--tak usah kusebut namanya, sebab ia termasuk golongan yang haram menurut beberapa orang-- memperkenalkan fesbuk. Kau kutemukan lagi, jejakmu bisa kutelusuri lagi. Diam-diam, aku berterima kasih pada dia yang tidak boleh disebutkan namanya.

Tulisan ini jelas bukan untuk meniadakan sahabatku yang lain, ah bukankah sudah kukatakan tadi ini ulang tahunmu? Terakhir kita berjumpa, lebaran kemarin. Aku menjemputmu di rumah sakit tempat kau berpraktek, lalu kita duduk-duduk sebentar di sebuah kedai kue. Menyimakmu bercerita membuatku sedikit mengacuhkan hidangan di atas meja. Seperti biasa kau mengeluhkan makanku tak banyak, mungkin karena lambungku kecil, aku mencoba beralasan. Kau memang membesar seiring waktu, aku stagnan dengan berat tubuh yang dimiliki seorang anak gadis--ini hal yang membanggakan sekaligus menyakitkan sebab selalu aku jadi olok-olok kalian bahwa gemuk itu tanda bahagia, kurus tanda makan hati...hiks--.  Hampir setahun dari hari ini, kita juga sempat bersua demi melepaskan seorang sahabat anggota Teede almarhumah Ama, yang mudah-mudahan di waktu lain bisa kutuliskan beberapa kalimat untuk mengenangnya. Hari itu kita lebih banyak menangis dibanding tertawa atau saling mencela. Di hari itu kita juga belajar menangis sambil tertawa sebab tiba-tiba aku ingat almarhumah yang semasa hidupnya begitu lucu, sering berpura-pura kelebihan huruf alias okkots--bahkan di saat menulis-- dan ia yangselalu gagal untuk tidak jadi sasaran celaan kita. Apakah nanti saat ditanya malaikat, ia juga masih 'okkots' seperti biasa? begitu mendadak aku bertanya. Dengan wajah masih berlinangan air mata, kita pun terbahak-bahak.

Jelas sudah tak banyak waktu yang pernah kuhabiskan bersamamu. Tapi waktu yang sedikit itu mampu menyimpulkan sebuah kata: precious. Kau indah seperti namamu. Terima kasih untuk menerimaku apa adanya dan masih terus menyemangatiku padahal aku ini jelas contoh yang buruk bagi yang lain. Kau menghakimi dengan kasih sayang, dan kalau hidup dan keagungan berpihak padamu, itu bukan karena kau beruntung. Itu upah dari kerendahan hati yang kau pelihara. Kau tunjukkan cara mencintai Tuhan dengan perilaku, bukan lewat kata-kata panjang yang membuat kening harus berkerut. Dan kau tidak pernah berusaha memimpin orang lain bahkan untuk sebuah tujuan yang mulia sekalipun. Kau duduk sama rata dengan kami si pendosa, yang masih pandai berkelit dari kewajiban-kewajiban kepada si Pemilik Kehidupan demi menuntaskan urusan-urusan duniawi.

Kini kau dengan pengetahuanmu diijinkan untuk membantu orang lain. Kudoakan kau selalu kuat untuk menjaga ikhlasmu. Sebab, orang mudah tergelincir dengan pengetahuan dan derajat yang diamanahkan padanya, semoga kau selalu dilindungi. Kau pasti punya cela seperti layaknya manusia lainnya, tapi semoga dan semoga Allah selalu berkenan menutup aib-aibmu dan membantumu menjaga kehormatanmu.

Terakhir, ijinkan kukutip status kakakmu di path pagi ini. Status yang membuat iri, berharap kita semua bisa seberuntung kalian memiliki jalinan persaudaraan yang sedemikian kentalnya.

Selamat ulang tahun buat adikku sayang, Indah Lestari Daeng Kanang. Setiap saya menasehati Aisyah, saya selalu mengambil contoh tante Indah-nya. Sejak sekolah dasar selalu juara kelas, dalam segala hal yang diminatinya selalu hebat. Sholat dan mengajinya rajin, puasa Senin-Kamisnya juga rajin, wudhunya selalu dijaga tidak rusak. Dokter yang selalu dicari kembali oleh pasiennya, Ibu yang selalu disambut kepulangannya dengan gembira oleh anak dan suaminya. Sebagai teman, biarlah teman-temannya saja yang menilai. Tante Indah yang dicap dengan stempel 'baik sekali'. Rasa sayangnya ke saya tidak bisa saya jabarkan. Semua kebahagiaannya selalu dibagi ke saya, semua sedih dan susahku sebisa mungkin dia ringankan. Apa saja yang kau harapkan temui dalam sosok seorang adik perempuan, saya punyai dengan nilai A+. Semoga Allah selalu melindungi kita, amin yaa Rabbal alamin.



-semoga Allah menjagamu selalu-



aku dan pasar

Dua kali seminggu, atau paling banyak tiga, saya menjelajah di pasar tradisional. Pasar adalah tempat yang kemudian penting dalam keseharian saya, meski belum bisa saya sebut sebagai tempat favorit, sejak tahun 2005 kami mulai merantau berpindah-pindah kota. Saya terbiasa tak menggunakan jasa asisten rumah tangga dan sepanjang ini saya baru berhasil sekali mempekerjakan seorang asisten rumah tangga saat memulai rantau di kota Bandung dulu. Mbak As namanya, gadis muda usia 16 yang ikut saya selama satu tahun dan akhirnya pulang kembali ke kampungnya di Ciamis begitu kami juga harus bergerak lagi ke kota Jakarta. Setelah itu, saya tak pernah mencari lagi. Repot? Tentu. Saya akan mengerutkan kening jika seorang teman yang baru memiliki anak lantas mengeluh dengan pekerjaan rumah tangga plus mengurus anak dan suami yang menurutnya melelahkan. Kalau dia saja lelah, bagaimana dengan saya? Kalikan empat, lalu duduklah diam-diam dan syukuri keadaanmu.

Kembali ke soal pasar tadi. Salah satu alasan saya harus rajin 'blusukan' di pasar tradional ya karena saya tak punya asisten rumah tangga yang memungkinkan untuk menggantikan pekerjaan itu. Di samping itu, pasar tradisional cenderung lebih 'ramah' dalam soal harga dan banyaknya pilihan barang yang ingin kita beli. Kendalanya, becek, bau tak sedap dan seperti yang saya alami di kota ini, saya harus berjalan jauh dari parkiran untuk tiba ke dalam pasar yang letaknya di belakang sebuah pertokoan. Setelah belanjaan saya cukup, saya harus berjalan kaki balik ke parkiran dengan beban baru di kedua tangan, yang terkadang tak sedikit, membuat saya lebih terbantu melatih otot lengan saya yang belakangan ini saya rasa lebih 'atletis' walaupun saya tak pernah menghadiri kelas fitnes.

Saya selalu menghibur diri saat hati kecil saya mulai protes dan bayangan teman-teman wanita saya sedang duduk bekerja di ruangan yang sejuk menghasilkan uang seperti hendak menerbitkan cemburu yang tak wajar. Berjalan kaki membuatmu sehat, bujuk saya pada diri sendiri. Belum lagi bayangan wajah anak-anak dan suami yang bahagia lantaran di rumah selalu tersedia makanan yang sehat dan mengenyangkan. Dan saya pun mengamini, masing-masing dari kita punya peran yang tak bisa ditukarkan dengan peran orang lain. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita, begitu perumpamaan bijaknya. Siramlah rumput di halaman rumahmu, usahakan jangan menghadap ke halaman tetangga.

Beberapa orang pernah bertanya, mengapa saya masih mau melakukan hal-hal yang menurut mereka sudah pantas untuk dilepaskan, secara suami saya telah memiliki jabatan yang cukup prestise di perusahaan tempat ia bekerja. Pekerjaan ini, tanpa mendiskreditkan wanita karier manapun dan dimanapun berada--saya percaya tiap orang memiliki alasan-alasan baik untuk tiap keputusan dalam hidupnya--, terasa membuat saya mampu semakin memanusiakan diri. Tidak banyak yang tahu, di pasar tradisional saya tak hanya berburu bahan makanan segar dan murah. Saya berburu 'ilmu sederhana' tentang kehidupan. Dagangan seorang nenek tua yang berjualan sayuran di sudut depan sebuah kios jelas tak seberapa dibandingkan uang yang akan saya habiskan sekali ke pasar. Tapi nenek itu ada setiap saya datang, duduk di sana mengumpulkan rezekinya dari receh demi receh yang kadang dianggap tidak berarti oleh kebanyakan orang. Si nenek penjual sayur telah menggambarkan sebuah gambar sederhana kepada saya tentang keikhlasan dan kesetiaan pada hidupnya.

Saya juga belajar betapa dunia ini takkan bisa berjalan selayaknya jika semua orang berdiri di atas, dengan tangan yang selalu bersih, melakukan hal-hal yang besar. Saya selalu menutup hidung saat melewati tumpukan sampah yang menggunung, tapi kemudian jatuh malu dalam batin saat melihat beberapa lelaki berpakaian kumal mengerjakan tugas mereka membereskan sampah-sampah tersebut. Sampah-sampah yang menjijikkan, mulai dari yang kering sampai yang basah, mulai dari plastik sampai belatung. Pertanyaannya, tanpa orang-orang semacam mereka, kira-kira apa jadinya dunia ini? Pertanyaan selanjutnya, mampukah sehari saja kau menggantikan peran mereka?

Sekarang saya mengaku, saya sering terlambat pulang dari pasar sebab saya terlalu sibuk mengamati ini dan itu. Ah maafkan saya yang kepo. Bertanya-tanya dalam hati sudah layakkah pendapatan yang mereka peroleh dengan keadaan yang seperti ini? Bagaimana seorang penjual ayam bertahan dengan bau amis kotoran ayam setiap hari tanpa kenal hari libur, tanpa cuti (boro-boro liburan). Lalu buruh-buruh perempuan yang bekerja membersihkan kotoran ikan. Mereka duduk di antara genangan darah ikan, di samping sebaskom penuh kotoran ikan, dan mungkin uang jajan anakmu lebih besar dari pendapatan mereka sehari. Belum lagi jika saya menemukan pedagang yang membawa serta anak balitanya, mereka berkeliaran tanpa alas kaki, menjumput apa saja yang menarik di penglihatannya di atas tanah. Terkadang mereka memasukkannya ke mulut tanpa ketahuan sebab ibunya sedang sibuk melayani pembeli.

Biasanya, di sepanjang perjalanan pulang saya berkendara dengan perasaan dan semangat yang lebih baik. Kedua lengan dan kaki saya letih, tapi hati saya bernyanyi. Bukan karena bersyukur atas kedudukan saya yang menurut kacamata kuda lebih baik dari mereka, tapi saya sedang sadar ilmu kehidupan tak melulu harus kau pelajari dari buku dan petuah orang-orang yang mengaku memiliki ilmu. Allah Maha Besar, tengok sekelilingmu, semuanya adalah ladang pengertian yang tak pernah habis untuk kau panen sendiri. Orang-orang sederhana itu, yang berpakaian seadanya, yang tangannya kasar dan kotor, mereka itu guru-guru kehidupan yang sejati. Orang-orang yang setia pada kehidupannya, sederhana dalam melihat sekelilingnya dan tidak rumit memaknai perbedaan. Mereka tidak sibuk memusingkan orang lain sebab mereka punya hidup yang harus benar-benar diperjuangkan.

Tulisan ini sedikit narsis mungkin, tapi inilah saya apa adanya saya. Yang membangun kerajaannya di wilayah bernama 'dapur', yang masih selalu frustasi setiap kali melihat tumpukan pakaian kering menggunung menunggu untuk diseterika. Yang selalu berkejaran dengan waktu dan gagal mengalahkannya. Antara ke pasar, pulang memasak, membersihkan rumah, menjemput anak dari sekolah, menyeterika, membantu anak belajar dll seterusnya, sampai-sampai impian saya yang paling hebat saat ini hanyalah, tidur siang. Yang butuh mencuri-curi waktu supaya bisa menengok sesekali media sosial agar nanti tak disebut sebagai ibu rumah tangga yang kuper. Hiks...
Beberapa kawan kemarin sedikit 'sinis' pada saya bahwa seakan-akan saya yang ibu rumah tangga ini jelaslah tak punya cukup ilmu untuk dibagikan ke orang lain. Tak mengapa, teman. Kalian selalu akan kuanggap teman yang baik. Tak bisa kuikuti langkahmu sebab aku memang sudah takdirnya seperti ini. Aku ini jelas masih perempuan biasa yang kerap ceroboh, masih jahil alias tidak punya ilmu seperti yang kau sering katakan. Maka, ijinkan si jahil ini menyelami kehidupannya dengan caranya sendiri. Menuliskan curhatnya sesekali di dinding fesbuk selama masih gratis, sedikit berbangga jika ada yang suka, tapi tidak... jangan kau kira aku pernah berniat mencoba mencemari pikiran dan akidah teman-temanku yang lain. Aku belum serumit itu, teman. Mudah-mudahan tidak akan pernah.

Kalau aku terlihat tak sepaham denganmu, itu hanya karena tak mampu kuserap ilmu yang kau tawarkan. Anggaplah aku tak sepandai kau. Aku perempuan biasa yang cuma punya satu prinsip sederhana yang sudah terpaku mati di jidatku. Jika kau tak mampu berbuat baik kepada orang lain, paling tidak janganlah kau sakiti mereka. Itu saja.

Dan aku harus selesai di sini. Tiba waktunya menjemput bocah-bocah kesayanganku.

Pagar-pagar di sekelilingku

--Harusnya di fesbuk ada kolom agama. Supaya kita bisa memilih-milih teman seagama, seakidah, teman yang bisa seiring sejalan menuju surga. Supaya kita tak panas mendengar suara-suara kaum kafir, supaya kita tak terkontaminasi perilaku, cara hidup dan cara berpikir mereka yang berpeluang membawa kita pada kesesatan. Sungguh, jika mereka mencemari agama dan kehidupan kita, mengapa tidak sekalian kita musnahkan saja mereka?--

Saya ingat jaman kuliah dulu di Unhas, tempat di mana pertama kali saya belajar ilmu mengenai Islam. Kisah tentang bagaimana saya bisa 'terhanyut' saat mendengar suara adzan mengumandang mungkin bagi sebagian orang adalah hal luar biasa dan dikategorikan hidayah, tapi justru pengalaman setelahnya yang menurut saya adalah hidayah yang sebenarnya. Petunjuk yang sebenarnya.
Saya ingat pertama kali mengutarakan pertanyaan mengenai Islam di kantin Ramsis, kepada beberapa senior yang dulunya adalah aktivis dan orator (bukan provokator) ulung kampus merah kami. Apa makna surah Al Ikhlas dan Al Fatihah, itu pelajaran pertama saya. Lalu setelahnya, saya dengan gaya bebas bisa bertanya apa saja, menyelam sedalam-dalamnya, mendebat hal-hal yang masih tak masuk di logika saya, sepuasnya dan mereka meladeni.

Indah? Jelas. Itu pertama kali saya memahami bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Saya yang waktu itu seorang Cina dan punya cap kafir di jidat saya, mereka tak mencibiri saya, atau menyinggung ras dan agama saya. Pun ketika saya dalam proses 'mencari tahu' tak seorangpun dari mereka yang kemudian memaksa saya untuk masuk Islam, menyinggung pun tidak. Mereka menjawab pertanyaan saya dengan sangat tidak memihak, tidak menjelekkan agama yang saya anut, tapi juga tak melebih-lebihkan agama yang mereka percayai.

Kau tahu, sore itu tidak terlupakan seumur hidup. Saya berada di antara senior-senior yang duduk berkumpul di depan koridor Fis 1 Fakultas Ekonomi, melepas lelah seusai acara ospek mahasiswa baru. Saya si kafir duduk di antara para muslim dan saya merasa sangat aman. Mereka tak membahas agama, tak bicara darimana kau berasal, tak ambil pusing dengan sejarah hidupmu, bahkan tak sibuk mengurusi pilihan-pilihan yang harus kau buat dalam hidupmu. Mereka datang cuma untuk belajar sebentar bersama dosen, belajar dan tertawa yang banyak bersama teman. Saling mencela itu biasa, tapi tak sampai melanggar hak dan kehormatan yang lainnya. Toraja, Bugis, Makassar, Mandar, Ambon, Batak, Cina, Jawa, Kristen, Islam, Hindu, Budha semua diaduk menjadi secangkir kopi hitam yang manis-manis pahit. Kental dan pekat.

Ya, sore itu saya masih tersangkut di pilhan yang berat, antara kewajiban kepada orang tua atau memutuskan untuk menyerahkan hidup saya sepenuhnya ke tangan Tuhan yang tak terlihat. Saya yang gelisah setengah mati akhirnya bangkit berdiri dan bertanya, "Adakah yang mau mengantar saya ke masjid Al Markas?" Seorang senior yang ketampanannya sedikit terhalangi oleh rambutnya yang gondrong ala anak lorong, bertanya dengan kening mengernyit, "Untuk apa ke Al Markas?"

"Saya mau masuk Islam." Mereka sontak berdiri bersamaan, entah terkejut atau gembira, yang saya tahu ekspresi wajah-wajah itu yang kemudian membantu menguatkan tekad saya. Setelah itu, saya pun dikawal segerombolan pemuda bertampang kucel dan belum mandi seharian menuju masjid Al Markas tempat di mana akhirnya saya benar-benar 'menyerahkan diri' mempercayai Islam.

Setelahnya, saya yang harusnya bisa digolongkan sebagai 'pengkhianat' di mata keluarga dan teman-teman se-agama saya dulu, punya kekhawatiran kecil. Bagaimana jika saya harus kehilangan mereka semua karena telah menyeberang dengan berani ke jalur yang berbeda? Hingga hari ini, belum seorang pun dari mereka datang menudingkan telunjuknya ke arah saya dan membuat ketakutan saya itu menjadi nyata. Mereka menyapa saya seperti biasa, memaklumi segala yang saya lakukan sebagai sesuatu yang 'hak pribadi' yang tak butuh campur tangan orang lain. Dan tak seorangpun dari mereka kemudian datang berkata, "kau adalah domba yang tersesat, neraka lah tempatmu kembali..."

Sekali lagi, bukan proses mengharu biru itu yang hendak saya panjang-panjangkan di sini, tapi jaman sungguh sudah jauh berbeda. Kita dulu tidak belajar mengkotak-kotakkan diri dan membiarkan urusan iman menjadi urusan yang sangat pribadi. Para muslim mendiskusikan agamanya tidak sambil menudingkan telunjuk ke kaum lain, apalagi menghujat. Kaum muslim berlebaran, kaum nasrani datang mengajak bersalaman. Sebaliknya pun demikian. Kita memanusiakan manusia lain, tidak menyimpan prasangka, tidak menghasut dan tidak mudah terhasut.

Itu dulu, jaman handphone adalah barang langka dan mewah, dan kami cuma punya waktu sebagai hal yang sangat berharga. Diskusi berat diselingi lelucon, tak ada yang tersinggung sampai taraf 'sakit'. Saya mungkin adalah salah satu orang dari bagian generasi sehat yang amat memuliakan toleransi. Saya beruntung, kami generasi yang beruntung.

Entah apa yang membuat sebagian dari kami saat ini mengkhianati komitmen itu. Bicara seenak udel, menuding siapa saja yang berbeda pikiran, melupakan hakikat persahabatan demi (katanya) menjunjung akidah yang nilai-nilainya sebenarnya tak terlepas dari ajaran untuk memuliakan sesama manusia. Kita pandai membenarkan diri, menggilas keyakinan orang lain kemudian melecehkannya sampai ke hal-hal yang jauh dari kata toleran. Saya hanya mengelus dada hari ini membaca timeline seorang yang berkeyakinan sama dengan saya, yang menggembar-gemborkan bahwa agama yang kami yakini adalah agama yang toleran, tapi kemudian mencap dungu dan tak punya ilmu agama, orang yang mencoba mendebatnya secara sopan mengenai hal yang bisa sebenarnya bisa didiskusikan dengan ringan saja. Dan ketika saya telusuri (maaf kepo) nyaris seluruh isi fesbuknya berisi hasutan, kecaman, hinaan terhadap orang dan kaum yang menurut kacamata kudanya adalah sesat plus plus. Tambah lagi cap kafir yang semakin banyak diberikan kepada siapa saja yang sedang menggunakan hak berpikir, berbicara dan bertindaknya sebagai selayaknya seorang manusia, hanya karena apa yang dikenakannya, apa yang dipikirkannya. Apa agamanya.

Ilmu agama saya biasa-biasa saja, kau sudah tahu itu, yap saya masih belajar dan entah kapan selesai lalu menjadi benar-benar pandai. Saya pun akhirnya berhenti bersedih dan tak lagi keberatan dijauhi beberapa kawan yang dulunya sangat dekat, karena apa yang saya pikirkan tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Jika saja mereka mau bercermin sedikit, membayangkan sedikit ikut menjejakkan kaki di jalan panjang yang saya tempuh hingga tiba di titik ini, titik di mana saya sangat mensyukuri menjadi seorang muslim tanpa harus mencederai kehormatan dan hak orang lain. Saya jelas takkan bisa memusnahkan orang-orang kafir di sekeliling saya yang notabene mereka adalah orang- orang yang patut saya hormati setelah Allah. Ibu, bapak, saudara bahkan sahabat-sahabat saya yang tidak se-akidah, semoga Allah tidak murka karena saya masih menyayangi mereka dan terus berusaha menjaga untuk tidak mencederai hati mereka, sepanjang tidak mencederai akidah saya sendiri.

Dakwah itu wajib, ukhti.... Ya, tapi berdakwahlah tanpa merendahkan. Bagikanlah sebanyak-banyaknya ilmumu tanpa merasa pandai seorang diri. Ceritakanlah indahnya Islam tanpa harus merusak keindahannya dengan tudingan dan kata-kata sinis. Kita semua pada akhirnya menuju Allah, dengan cara apa tak usah kau diktekan. Biarkan tiap orang memaknai pengalamannya sendiri, mendekati Allah karena cinta, bukan karena takut. Hidayah itu masih dalam hak mutlak Allah, bukan ciptaan manusia. Hidayah yang tak dimaknai dengan usaha memeliharanya pun boleh jadi berakhir seperti sebuah raport dengan tinta merah. Seperti kebanyakan orang yang mengaku telah dikaruniai hidayah, tapi tak kunjung mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang muslim yang baik.

Sekali lagi, iman, tebal tipisnya, jangan gunakan ukuran manusia. Dan tak sekali-sekalipun Allah menugaskan siapapun untuk mengukur kadar iman orang lain dan memperoloknya. Tidak semua manusia bebal, tidak selamanya manusia tertutup mata hatinya. Pun kita yang berbalut kebaikan dan ibadah yang bertumpuk pun bisa jadi belum masuk kategori yang memiliki kualitas iman sempurna menurut Allah. Biarkan Allah yang menilai, berbaik sangkalah, berkasihsayang, supaya suatu hari kau tak usah bingung menyembunyikan wajah jika berpapasan dengan orang yang telah kau tuding sesat atau terpaksa -mau tak mau- harus menerima pertolongan dari si kafir yang kemarin kau cela. Berprasangka baik, bertutur santun, saling menasehati dan berbagi dalam kasih sayang takkan mencederai imanmu walau seujung kuku. Inshaa Allah kau justru akan semakin kaya oleh keikhlasan.

Ayah angkat saya seorang kafir, sampai mati pun ia tetap kafir. Tapi ia adalah seseorang yang berperan sangat besar membuat saya sampai di titik ini hari ini. Dan -maaf- saya tak bisa berhenti mencintai si kafir ini, tak perduli itu salah di matamu atau tidak.











Kamis, 13 November 2014

(come...)

mari singgah sebentar di sini, kutuangkan secangkir kopi hitam yang sedikit manis untukmu
jika agak pahit, nikmati saja
sebab rasa juga tak lekang oleh waktu
pahit itu akan hilang pada akhirnya, seperti manis yang kau cecap kemarin
apa yang ada, nikmatilah
sebab belum tentu besok kita masih punya kesempatan sebaik hari ini
secangkir kopi hitam dengan sedikit gula, itu sudah luar biasa bagiku
bahagia sesungguhnya tak harus rumit
mari, hirup kopimu....