Selasa, 18 November 2014

aku dan pasar

Dua kali seminggu, atau paling banyak tiga, saya menjelajah di pasar tradisional. Pasar adalah tempat yang kemudian penting dalam keseharian saya, meski belum bisa saya sebut sebagai tempat favorit, sejak tahun 2005 kami mulai merantau berpindah-pindah kota. Saya terbiasa tak menggunakan jasa asisten rumah tangga dan sepanjang ini saya baru berhasil sekali mempekerjakan seorang asisten rumah tangga saat memulai rantau di kota Bandung dulu. Mbak As namanya, gadis muda usia 16 yang ikut saya selama satu tahun dan akhirnya pulang kembali ke kampungnya di Ciamis begitu kami juga harus bergerak lagi ke kota Jakarta. Setelah itu, saya tak pernah mencari lagi. Repot? Tentu. Saya akan mengerutkan kening jika seorang teman yang baru memiliki anak lantas mengeluh dengan pekerjaan rumah tangga plus mengurus anak dan suami yang menurutnya melelahkan. Kalau dia saja lelah, bagaimana dengan saya? Kalikan empat, lalu duduklah diam-diam dan syukuri keadaanmu.

Kembali ke soal pasar tadi. Salah satu alasan saya harus rajin 'blusukan' di pasar tradional ya karena saya tak punya asisten rumah tangga yang memungkinkan untuk menggantikan pekerjaan itu. Di samping itu, pasar tradisional cenderung lebih 'ramah' dalam soal harga dan banyaknya pilihan barang yang ingin kita beli. Kendalanya, becek, bau tak sedap dan seperti yang saya alami di kota ini, saya harus berjalan jauh dari parkiran untuk tiba ke dalam pasar yang letaknya di belakang sebuah pertokoan. Setelah belanjaan saya cukup, saya harus berjalan kaki balik ke parkiran dengan beban baru di kedua tangan, yang terkadang tak sedikit, membuat saya lebih terbantu melatih otot lengan saya yang belakangan ini saya rasa lebih 'atletis' walaupun saya tak pernah menghadiri kelas fitnes.

Saya selalu menghibur diri saat hati kecil saya mulai protes dan bayangan teman-teman wanita saya sedang duduk bekerja di ruangan yang sejuk menghasilkan uang seperti hendak menerbitkan cemburu yang tak wajar. Berjalan kaki membuatmu sehat, bujuk saya pada diri sendiri. Belum lagi bayangan wajah anak-anak dan suami yang bahagia lantaran di rumah selalu tersedia makanan yang sehat dan mengenyangkan. Dan saya pun mengamini, masing-masing dari kita punya peran yang tak bisa ditukarkan dengan peran orang lain. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau dari rumput di halaman rumah kita, begitu perumpamaan bijaknya. Siramlah rumput di halaman rumahmu, usahakan jangan menghadap ke halaman tetangga.

Beberapa orang pernah bertanya, mengapa saya masih mau melakukan hal-hal yang menurut mereka sudah pantas untuk dilepaskan, secara suami saya telah memiliki jabatan yang cukup prestise di perusahaan tempat ia bekerja. Pekerjaan ini, tanpa mendiskreditkan wanita karier manapun dan dimanapun berada--saya percaya tiap orang memiliki alasan-alasan baik untuk tiap keputusan dalam hidupnya--, terasa membuat saya mampu semakin memanusiakan diri. Tidak banyak yang tahu, di pasar tradisional saya tak hanya berburu bahan makanan segar dan murah. Saya berburu 'ilmu sederhana' tentang kehidupan. Dagangan seorang nenek tua yang berjualan sayuran di sudut depan sebuah kios jelas tak seberapa dibandingkan uang yang akan saya habiskan sekali ke pasar. Tapi nenek itu ada setiap saya datang, duduk di sana mengumpulkan rezekinya dari receh demi receh yang kadang dianggap tidak berarti oleh kebanyakan orang. Si nenek penjual sayur telah menggambarkan sebuah gambar sederhana kepada saya tentang keikhlasan dan kesetiaan pada hidupnya.

Saya juga belajar betapa dunia ini takkan bisa berjalan selayaknya jika semua orang berdiri di atas, dengan tangan yang selalu bersih, melakukan hal-hal yang besar. Saya selalu menutup hidung saat melewati tumpukan sampah yang menggunung, tapi kemudian jatuh malu dalam batin saat melihat beberapa lelaki berpakaian kumal mengerjakan tugas mereka membereskan sampah-sampah tersebut. Sampah-sampah yang menjijikkan, mulai dari yang kering sampai yang basah, mulai dari plastik sampai belatung. Pertanyaannya, tanpa orang-orang semacam mereka, kira-kira apa jadinya dunia ini? Pertanyaan selanjutnya, mampukah sehari saja kau menggantikan peran mereka?

Sekarang saya mengaku, saya sering terlambat pulang dari pasar sebab saya terlalu sibuk mengamati ini dan itu. Ah maafkan saya yang kepo. Bertanya-tanya dalam hati sudah layakkah pendapatan yang mereka peroleh dengan keadaan yang seperti ini? Bagaimana seorang penjual ayam bertahan dengan bau amis kotoran ayam setiap hari tanpa kenal hari libur, tanpa cuti (boro-boro liburan). Lalu buruh-buruh perempuan yang bekerja membersihkan kotoran ikan. Mereka duduk di antara genangan darah ikan, di samping sebaskom penuh kotoran ikan, dan mungkin uang jajan anakmu lebih besar dari pendapatan mereka sehari. Belum lagi jika saya menemukan pedagang yang membawa serta anak balitanya, mereka berkeliaran tanpa alas kaki, menjumput apa saja yang menarik di penglihatannya di atas tanah. Terkadang mereka memasukkannya ke mulut tanpa ketahuan sebab ibunya sedang sibuk melayani pembeli.

Biasanya, di sepanjang perjalanan pulang saya berkendara dengan perasaan dan semangat yang lebih baik. Kedua lengan dan kaki saya letih, tapi hati saya bernyanyi. Bukan karena bersyukur atas kedudukan saya yang menurut kacamata kuda lebih baik dari mereka, tapi saya sedang sadar ilmu kehidupan tak melulu harus kau pelajari dari buku dan petuah orang-orang yang mengaku memiliki ilmu. Allah Maha Besar, tengok sekelilingmu, semuanya adalah ladang pengertian yang tak pernah habis untuk kau panen sendiri. Orang-orang sederhana itu, yang berpakaian seadanya, yang tangannya kasar dan kotor, mereka itu guru-guru kehidupan yang sejati. Orang-orang yang setia pada kehidupannya, sederhana dalam melihat sekelilingnya dan tidak rumit memaknai perbedaan. Mereka tidak sibuk memusingkan orang lain sebab mereka punya hidup yang harus benar-benar diperjuangkan.

Tulisan ini sedikit narsis mungkin, tapi inilah saya apa adanya saya. Yang membangun kerajaannya di wilayah bernama 'dapur', yang masih selalu frustasi setiap kali melihat tumpukan pakaian kering menggunung menunggu untuk diseterika. Yang selalu berkejaran dengan waktu dan gagal mengalahkannya. Antara ke pasar, pulang memasak, membersihkan rumah, menjemput anak dari sekolah, menyeterika, membantu anak belajar dll seterusnya, sampai-sampai impian saya yang paling hebat saat ini hanyalah, tidur siang. Yang butuh mencuri-curi waktu supaya bisa menengok sesekali media sosial agar nanti tak disebut sebagai ibu rumah tangga yang kuper. Hiks...
Beberapa kawan kemarin sedikit 'sinis' pada saya bahwa seakan-akan saya yang ibu rumah tangga ini jelaslah tak punya cukup ilmu untuk dibagikan ke orang lain. Tak mengapa, teman. Kalian selalu akan kuanggap teman yang baik. Tak bisa kuikuti langkahmu sebab aku memang sudah takdirnya seperti ini. Aku ini jelas masih perempuan biasa yang kerap ceroboh, masih jahil alias tidak punya ilmu seperti yang kau sering katakan. Maka, ijinkan si jahil ini menyelami kehidupannya dengan caranya sendiri. Menuliskan curhatnya sesekali di dinding fesbuk selama masih gratis, sedikit berbangga jika ada yang suka, tapi tidak... jangan kau kira aku pernah berniat mencoba mencemari pikiran dan akidah teman-temanku yang lain. Aku belum serumit itu, teman. Mudah-mudahan tidak akan pernah.

Kalau aku terlihat tak sepaham denganmu, itu hanya karena tak mampu kuserap ilmu yang kau tawarkan. Anggaplah aku tak sepandai kau. Aku perempuan biasa yang cuma punya satu prinsip sederhana yang sudah terpaku mati di jidatku. Jika kau tak mampu berbuat baik kepada orang lain, paling tidak janganlah kau sakiti mereka. Itu saja.

Dan aku harus selesai di sini. Tiba waktunya menjemput bocah-bocah kesayanganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar