Selasa, 18 November 2014

Pagar-pagar di sekelilingku

--Harusnya di fesbuk ada kolom agama. Supaya kita bisa memilih-milih teman seagama, seakidah, teman yang bisa seiring sejalan menuju surga. Supaya kita tak panas mendengar suara-suara kaum kafir, supaya kita tak terkontaminasi perilaku, cara hidup dan cara berpikir mereka yang berpeluang membawa kita pada kesesatan. Sungguh, jika mereka mencemari agama dan kehidupan kita, mengapa tidak sekalian kita musnahkan saja mereka?--

Saya ingat jaman kuliah dulu di Unhas, tempat di mana pertama kali saya belajar ilmu mengenai Islam. Kisah tentang bagaimana saya bisa 'terhanyut' saat mendengar suara adzan mengumandang mungkin bagi sebagian orang adalah hal luar biasa dan dikategorikan hidayah, tapi justru pengalaman setelahnya yang menurut saya adalah hidayah yang sebenarnya. Petunjuk yang sebenarnya.
Saya ingat pertama kali mengutarakan pertanyaan mengenai Islam di kantin Ramsis, kepada beberapa senior yang dulunya adalah aktivis dan orator (bukan provokator) ulung kampus merah kami. Apa makna surah Al Ikhlas dan Al Fatihah, itu pelajaran pertama saya. Lalu setelahnya, saya dengan gaya bebas bisa bertanya apa saja, menyelam sedalam-dalamnya, mendebat hal-hal yang masih tak masuk di logika saya, sepuasnya dan mereka meladeni.

Indah? Jelas. Itu pertama kali saya memahami bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Saya yang waktu itu seorang Cina dan punya cap kafir di jidat saya, mereka tak mencibiri saya, atau menyinggung ras dan agama saya. Pun ketika saya dalam proses 'mencari tahu' tak seorangpun dari mereka yang kemudian memaksa saya untuk masuk Islam, menyinggung pun tidak. Mereka menjawab pertanyaan saya dengan sangat tidak memihak, tidak menjelekkan agama yang saya anut, tapi juga tak melebih-lebihkan agama yang mereka percayai.

Kau tahu, sore itu tidak terlupakan seumur hidup. Saya berada di antara senior-senior yang duduk berkumpul di depan koridor Fis 1 Fakultas Ekonomi, melepas lelah seusai acara ospek mahasiswa baru. Saya si kafir duduk di antara para muslim dan saya merasa sangat aman. Mereka tak membahas agama, tak bicara darimana kau berasal, tak ambil pusing dengan sejarah hidupmu, bahkan tak sibuk mengurusi pilihan-pilihan yang harus kau buat dalam hidupmu. Mereka datang cuma untuk belajar sebentar bersama dosen, belajar dan tertawa yang banyak bersama teman. Saling mencela itu biasa, tapi tak sampai melanggar hak dan kehormatan yang lainnya. Toraja, Bugis, Makassar, Mandar, Ambon, Batak, Cina, Jawa, Kristen, Islam, Hindu, Budha semua diaduk menjadi secangkir kopi hitam yang manis-manis pahit. Kental dan pekat.

Ya, sore itu saya masih tersangkut di pilhan yang berat, antara kewajiban kepada orang tua atau memutuskan untuk menyerahkan hidup saya sepenuhnya ke tangan Tuhan yang tak terlihat. Saya yang gelisah setengah mati akhirnya bangkit berdiri dan bertanya, "Adakah yang mau mengantar saya ke masjid Al Markas?" Seorang senior yang ketampanannya sedikit terhalangi oleh rambutnya yang gondrong ala anak lorong, bertanya dengan kening mengernyit, "Untuk apa ke Al Markas?"

"Saya mau masuk Islam." Mereka sontak berdiri bersamaan, entah terkejut atau gembira, yang saya tahu ekspresi wajah-wajah itu yang kemudian membantu menguatkan tekad saya. Setelah itu, saya pun dikawal segerombolan pemuda bertampang kucel dan belum mandi seharian menuju masjid Al Markas tempat di mana akhirnya saya benar-benar 'menyerahkan diri' mempercayai Islam.

Setelahnya, saya yang harusnya bisa digolongkan sebagai 'pengkhianat' di mata keluarga dan teman-teman se-agama saya dulu, punya kekhawatiran kecil. Bagaimana jika saya harus kehilangan mereka semua karena telah menyeberang dengan berani ke jalur yang berbeda? Hingga hari ini, belum seorang pun dari mereka datang menudingkan telunjuknya ke arah saya dan membuat ketakutan saya itu menjadi nyata. Mereka menyapa saya seperti biasa, memaklumi segala yang saya lakukan sebagai sesuatu yang 'hak pribadi' yang tak butuh campur tangan orang lain. Dan tak seorangpun dari mereka kemudian datang berkata, "kau adalah domba yang tersesat, neraka lah tempatmu kembali..."

Sekali lagi, bukan proses mengharu biru itu yang hendak saya panjang-panjangkan di sini, tapi jaman sungguh sudah jauh berbeda. Kita dulu tidak belajar mengkotak-kotakkan diri dan membiarkan urusan iman menjadi urusan yang sangat pribadi. Para muslim mendiskusikan agamanya tidak sambil menudingkan telunjuk ke kaum lain, apalagi menghujat. Kaum muslim berlebaran, kaum nasrani datang mengajak bersalaman. Sebaliknya pun demikian. Kita memanusiakan manusia lain, tidak menyimpan prasangka, tidak menghasut dan tidak mudah terhasut.

Itu dulu, jaman handphone adalah barang langka dan mewah, dan kami cuma punya waktu sebagai hal yang sangat berharga. Diskusi berat diselingi lelucon, tak ada yang tersinggung sampai taraf 'sakit'. Saya mungkin adalah salah satu orang dari bagian generasi sehat yang amat memuliakan toleransi. Saya beruntung, kami generasi yang beruntung.

Entah apa yang membuat sebagian dari kami saat ini mengkhianati komitmen itu. Bicara seenak udel, menuding siapa saja yang berbeda pikiran, melupakan hakikat persahabatan demi (katanya) menjunjung akidah yang nilai-nilainya sebenarnya tak terlepas dari ajaran untuk memuliakan sesama manusia. Kita pandai membenarkan diri, menggilas keyakinan orang lain kemudian melecehkannya sampai ke hal-hal yang jauh dari kata toleran. Saya hanya mengelus dada hari ini membaca timeline seorang yang berkeyakinan sama dengan saya, yang menggembar-gemborkan bahwa agama yang kami yakini adalah agama yang toleran, tapi kemudian mencap dungu dan tak punya ilmu agama, orang yang mencoba mendebatnya secara sopan mengenai hal yang bisa sebenarnya bisa didiskusikan dengan ringan saja. Dan ketika saya telusuri (maaf kepo) nyaris seluruh isi fesbuknya berisi hasutan, kecaman, hinaan terhadap orang dan kaum yang menurut kacamata kudanya adalah sesat plus plus. Tambah lagi cap kafir yang semakin banyak diberikan kepada siapa saja yang sedang menggunakan hak berpikir, berbicara dan bertindaknya sebagai selayaknya seorang manusia, hanya karena apa yang dikenakannya, apa yang dipikirkannya. Apa agamanya.

Ilmu agama saya biasa-biasa saja, kau sudah tahu itu, yap saya masih belajar dan entah kapan selesai lalu menjadi benar-benar pandai. Saya pun akhirnya berhenti bersedih dan tak lagi keberatan dijauhi beberapa kawan yang dulunya sangat dekat, karena apa yang saya pikirkan tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Jika saja mereka mau bercermin sedikit, membayangkan sedikit ikut menjejakkan kaki di jalan panjang yang saya tempuh hingga tiba di titik ini, titik di mana saya sangat mensyukuri menjadi seorang muslim tanpa harus mencederai kehormatan dan hak orang lain. Saya jelas takkan bisa memusnahkan orang-orang kafir di sekeliling saya yang notabene mereka adalah orang- orang yang patut saya hormati setelah Allah. Ibu, bapak, saudara bahkan sahabat-sahabat saya yang tidak se-akidah, semoga Allah tidak murka karena saya masih menyayangi mereka dan terus berusaha menjaga untuk tidak mencederai hati mereka, sepanjang tidak mencederai akidah saya sendiri.

Dakwah itu wajib, ukhti.... Ya, tapi berdakwahlah tanpa merendahkan. Bagikanlah sebanyak-banyaknya ilmumu tanpa merasa pandai seorang diri. Ceritakanlah indahnya Islam tanpa harus merusak keindahannya dengan tudingan dan kata-kata sinis. Kita semua pada akhirnya menuju Allah, dengan cara apa tak usah kau diktekan. Biarkan tiap orang memaknai pengalamannya sendiri, mendekati Allah karena cinta, bukan karena takut. Hidayah itu masih dalam hak mutlak Allah, bukan ciptaan manusia. Hidayah yang tak dimaknai dengan usaha memeliharanya pun boleh jadi berakhir seperti sebuah raport dengan tinta merah. Seperti kebanyakan orang yang mengaku telah dikaruniai hidayah, tapi tak kunjung mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang muslim yang baik.

Sekali lagi, iman, tebal tipisnya, jangan gunakan ukuran manusia. Dan tak sekali-sekalipun Allah menugaskan siapapun untuk mengukur kadar iman orang lain dan memperoloknya. Tidak semua manusia bebal, tidak selamanya manusia tertutup mata hatinya. Pun kita yang berbalut kebaikan dan ibadah yang bertumpuk pun bisa jadi belum masuk kategori yang memiliki kualitas iman sempurna menurut Allah. Biarkan Allah yang menilai, berbaik sangkalah, berkasihsayang, supaya suatu hari kau tak usah bingung menyembunyikan wajah jika berpapasan dengan orang yang telah kau tuding sesat atau terpaksa -mau tak mau- harus menerima pertolongan dari si kafir yang kemarin kau cela. Berprasangka baik, bertutur santun, saling menasehati dan berbagi dalam kasih sayang takkan mencederai imanmu walau seujung kuku. Inshaa Allah kau justru akan semakin kaya oleh keikhlasan.

Ayah angkat saya seorang kafir, sampai mati pun ia tetap kafir. Tapi ia adalah seseorang yang berperan sangat besar membuat saya sampai di titik ini hari ini. Dan -maaf- saya tak bisa berhenti mencintai si kafir ini, tak perduli itu salah di matamu atau tidak.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar