Minggu, 30 November 2014

Perempuan itu juga Ibuku...

Lupa kapan persisnya, perempuan ini membolehkanku masuk ke dapurnya dan berlama-lama di situ. Ada banyak hal yang bisa membuatku berguna di sana, berhenti sejenak mencemaskan perutku yang membesar sebab kami belum menabung sepeser pun untuk biaya rumah sakit. Anak-anakku yang lain juga bebas berkeliaran, berlarian di sepanjang koridor rumahnya yang menghubungkan dapur dan bagian depan rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi sumber mata pencaharian keluarga itu. Toko Buku Hamdan, kau masih bisa menemukannya dengan kesederhanaannya yang masih serupa dulu. Bisnis keluarga yang dijalankan berpuluh tahun tanpa bantuan pegawai, yang pintunya selalu ditutup tepat beberapa saat sebelum suara adzan mengumandang.

Sebenarnya aku orang asing. Suamiku yang membuatku menjadi 'seseorang' di sana. Pemilik toko tak lain adalah pamannya, kakak lelaki satu-satunya yang dimiliki ibunya. Dua anak perempuan dan empat anak laki-laki, keluarga itu lengkap sudah. Tapi siapapun yang mengenal baik keluarga itu tahu, perempuan itulah permatanya. Perempuan sabar yang kubayangkan waktu muda parasnya pastilah sangat manis. Dan meski ia sudah berusaha belajar dengan baik agar bisa bercakap dalam bahasa Makassar, orang tetap bisa menebak darimana ia datang dari mendengar logatnya yang halus. Sebuah kota kecil bernama Cibatu di daerah Sukabumi, daerah tempat pengrajin senjata tajam tradisional semacam golok pusaka.

Aku tak sepandai dirinya dalam hal memasak, jadi kebanyakan yang kulakukan hanyalah mencuci perkakas dapur yang kotor, menyapu, sedikit bersih-bersih di halaman belakang yang cukup luas. Sesekali ia membiarkanku membuat kue kering, seringnya ia menyuruhku berhenti bergerak. "Duduk-duduk mi... sudah, jangan terlalu capek. Nanti sakit ki'..." Kata 'kita' dan 'ki'' dalam budaya orang Makassar adalah pengganti kata 'kau' dalam versi yang lebih tinggi/halus. Biasanya digunakan saat berbicara dengan orang yang dituakan, orang yang disegani. Dan ia satu-satunya orang yang dituakan di keluarga besar suamiku yang menggunakannya kepadaku. Tidak pernah kutanyakan mengapa, tapi hal itu yang membuatku semakin menghormatinya.

Suatu ketika saat aku selesai melahirkan anak ketiga, setiap pagi ia muncul di ujung tangga membawakan makanan untukku. "Jangan turun, di situ saja temani si kecil. Kalau baru habis melahirkan tidak boleh naik turun tangga...." Biasa kuambil makanan itu sembari cepat berbalik sebelum ia melihat mataku yang berkaca-kaca. Kami waktu itu menumpang di lantai atas rumahnya sebab kami belum punya cukup uang untuk mengontrak sebuah rumah. Ia pun kerap menyelipkan lembaran uang ke dalam tanganku sembunyi-sembunyi, seakan tahu aku sedang butuh uang untuk membeli susu. Anak-anakku pun selalu datang padaku dengan seplastik kue dan permen pemberian anak-anaknya. Di luar semua itu, aku bisa merasakan bahwa ia tetap menghargaiku sama seperti yang lain. Keadaanku yang serba sulit dan berkekurangan tak membuatnya merendahkan diriku, padahal jika ia mau, hal itu akan dimaklumi. Ia yang mengajarkanku kesabaran lewat perbuatan. Nasehatnya paling sederhana saja. "Sabar ki'..." Tapi dari ketekunannya mencintai hidup dan bagaimana ia terkadang terlihat begitu 'lemah' dalam menegakkan haknya sendiri, aku mengaku kalah. Dia adalah 'bulaeng na tau' -emasnya manusia... manusia yang harga dan kilaunya serupa emas.

Dulu, jikalau bebanku sudah tak tertanggungkan lagi, aku datang kepadanya. Aku bahkan tak sempat bicara apa-apa, ia tahu-tahu sudah memelukku dan menangis bersamaku. Punggungku diusap-usapnya pelan, usapan yang hampir tidak pernah kudapat lagi dari ibu yang memeliharaku sejak kecil ataupun ibu kandungku yang tak pernah pusing dimana aku berada. Aku mencintainya diam-diam, membawa setiap kenangan tentang dirinya untuk kujadikan alasan mengapa aku harus tetap berdiri. Kini, tak banyak lagi waktu yang bisa kuluangkan bercerita dengannya saat aku punya kesempatan kembali ke kampung halaman. Paling beberapa menit, berpelukan dan bicara lewat pandangan mata bahwa kami sama-sama rindu. Lebaran kemarin, keluarga besar berkumpul di rumahnya. Kusempatkan mencarikan rok dan  celana sekolah untuk Nita dan Hisyam di tokonya sebab saat belanja seragam di Banjar, ukuran untuk mereka habis. Uangku ditolaknya. Ia berkata, "Kenapa harus dibayar? Nita dan Hisyam cucuku juga." Basah lagi mataku dibuatnya.

Pagi ini sebuah pesan masuk dari putrinya yang tertua menanyakan kabar kami dan anak-anak. Ditutup dengan kalimat, "Iye, salam rindu juga dari Mama. Peluk cium dari Mama untuk kita'...."

Kalau boleh kukatakan, perempuan itu juga ibuku. Ibu yang mengajarkan cinta yang tanpa syarat. Ibu yang membuat kata rindu mengabadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar