Kamis, 11 Desember 2014

Rahma, apa kabarmu?

Rahma....

Satu tahun berlari seperti mengerdipkan mata dan tahu-tahu kau sudah tak ada. Apa kabarmu? Mungkin harus kucari dirimu di antara awan putih yang berarak perlahan di antara langit pagi ini. Atau di antara gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu di mana ingatanku akan selamanya tertinggal di sana. Masihkah kau sehangat dulu? Masihkah kau suka menghibur kawan-kawan barumu di sana seperti yang kau lakukan dulu terhadap kami?

Berapa usia pertemanan kita? Dua puluh tahun? Aku pernah bilang, suatu hari saat kita menua, saat lutut kita telah goyah dan putih mendominasi helai-helai rambut yang tumbuh di kepala kita, kita akan duduk bersama di sebuah studio foto, mengulang apa yang pernah kita lakukan berpuluh tahun yang lampau dan tertawa terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. Satu cuplikan yang indah sebelum kita saling berpamitan dan ikhlas saling melepaskan. Foto itu nantinya kita bingkai dan masing-masing kita berikan ke cucu kita yang sudah beranjak remaja. Biar nenek sudah tidak ada, foto ini biarlah tetap di dinding, supaya kalian ingat, nenekmu ini adalah seorang perempuan yang bahagia sepanjang hidupnya sebab selalu memiliki mereka. Ya, aku yang kuat dan bahagia karena kalian. Teman-temanku.

Kau dan aku adalah yang paling sering melewatkan sesi foto bersama. Kau yang merantau selepas SMA, aku yang pergi mengikuti ke mana langkah lelakiku pergi. Setahun atau dua tahun sekali, selalu tak cukup untuk memberitahumu segala hal yang aku lalui atau mendengarmu menceritakan tempat-tempat yang sudah kau singgahi. Tapi kita selalu bersyukur untuk bermenit-menit kesempatan yang diberikan Tuhan demi mengurai rindu. Kita saling memeluk dan tertawa seperti dulu.

Kita dulu tak disentuh teknologi canggih semacam telepon genggam, yang membuat kita tak punya banyak foto selfie selain beberapa lembar kenangan yang sempat diabadikan di kamera milik Indah. Tapi entah mengapa, setiap ekspresi, senyuman, tawa dan suaramu bukan hal yang sulit untuk diingat kembali. Kau yang abadi dalam ingatanku dalam seragam putih abu-abu, langkahmu yang gagah, rambutmu yang mengibar kaku membuat image-mu semakin seram. Kulitmu legam, yang selalu jadi bahan olokan kami bahkan di saat-saat kau akan mempersiapkan pernikahanmu. Ada gunanya tidak kau mandi uap dan luluran? ejek kami bersahut-sahutan di grup bbm waktu itu. Kau mengabarkan akan menikah saja, sudah membuat kami takjub. Bukan karena meragukan sisi kewanitaanmu, bukaaaannn. Perkaranya, sepanjang kami mengenalmu, kau jatuh bangun dalam hal percintaan. Yang kami tunggu adalah kenyataan, tetapi yang terjadi kebanyakan adalah kau berpindah dari satu hati ke hati lainnya tanpa realisasi yang jelas. Ah, Rahma... Maafkan, kubongkar sedikit masa lalumu yang suram. Masa-masa di mana menggodamu setiap kali kecenganmu melintas adalah sesuatu yang sangat memuaskan hati kami.

Yang kutahu, kau itu sejenis manusia sabar yang tak pernah pusing harus tampil seperti apa di depan orang-orang. Habis-habisan kau kami cela, tak pernah berakhir menjadi sebuah permusuhan. Aku mencuri semangat setiap pagi dari dirimu, itu yang mungkin tak kau sadari. Segala hal yang sulit bisa berubah menjadi lucu jika kau yang menceritakannya. Belum lagi jika kau menularkan tawamu yang sungguh tak sopan untuk ukuran tawa seorang anak gadis. Kau yang terlalu apa adanya.

Rahma, aku sedang memunguti satu persatu rasa rinduku yang kubiarkan berceceran di lantai kamarku. Dan aku tersenyum-senyum, mungkin seperti itulah yang seharusnya terjadi saat mengenang seseorang seperti dirimu. Kabarmu bertahun-tahun tak pernah jelas di telinga kami. Setiap pertemuan pun tak pernah kau uraikan apa kesulitanmu, letihkah kau bertahun-tahun menjadi tumpuan ibu dan adik-adikmu selepas ayahmu pergi? Harusnya aku banyak-banyak bertanya selagi ada kesempatan, supaya mungkin bisa kubagi sedikit kekuatanku kepada dirimu lewat beberapa patah kata. Ah, sesal itu memang selalu datang terlambat ya, Rahma? Seperti sesalku hari ini, belum bisa membuatkanmu sebuah buku.

"Mimi is very good in writing. She writes for woman magazine sometimes, and you know what? She's also good in singing.... She's so talented!"

Di pertemuan kita terakhir, di sebuah kedai kopi bersama suamimu, aku hampir saja melorot dari tempat dudukku dan memilih bersembunyi di kolong meja. Satu cerpen plus satu cerber yang pernah dimuat di sebuah majalah wanita, itu yang kau sebut sebagai 'very good in writing'? Diam-diam saja aku menanggapi pujianmu sembari mencoba mengalihkan pembicaraan. Kau membuatku merasa sangat berdosa, dengan ekspektasi setinggi itu, aku justru sedang merayap di dasar kepercayaan diriku sendiri. Tak ada waktu untuk menulis, kilahku. Kau terus menyemangatiku tanpa sadar betapa putus asanya sebenarnya aku. "Tulisanmu itu kau tahu, Mei-Mei... Tanpa aku lihat siapa penulisnya, aku sudah tahu ini pasti kau yang menulisnya...."

Kau tahu? Mudah-mudahan kau tersenyum di sana saat membaca ini; aku sekarang sedang belajar kembali mengasah kemampuanku demi membuatmu tersenyum. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk seorang teman dengan hati selembut dirimu? Satu tahun sudah kau tak memberi kabar. Satu tahun sudah tak kau ijinkan kami tahu apa yang sedang kau lakukan di sana. Yang kami tahu, kau meninggalkan banyak sekali pertanyaan yang tak mampu kami temukan jawabannya. Sesaat setelah kami semua mensyukuri akhirnya kau yang mungkin lelah kini dipertemukan dengan seorang lelaki muslim yang baik yang bersedia ikut memikul bebanmu, lalu hal-hal menakjubkan terasa terus menghujani kehidupanmu, berita kehamilanmu yang kembali menerbitkan keisengan kami mempertanyakan seperti apa kelak rupa dan kulit anak kalian, lalu Tuhan menutup buku kehidupanmu begitu saja. Selesai.

Rahma... Boleh kuberitahu kau sesuatu? Suamimu yang tampan itu beberapa hari yang lalu tengah bersiap terbang dari Malaysia menuju Makassar demi mengunjungi ibumu. Ia bertanya, apakah aku bersedia menerima buku-buku bacaan yang kau tinggalkan? Kau tahu, aku berusaha tak sering-sering menyapanya atau mengajaknya berbincang. Membuatku kelu, membuatku ingin menyalahkan takdir, mengapa seorang lelaki yang sedemikian baiknya untukmu harus sedemikian singkatnya kau nikmati kehadirannya? Mengapa kalian tak dibiarkan hidup menua bersama? Ia memujamu dan dalam setiap kalimat ia memintaku mendoakan dirimu. Ia bercerita betapa bahagianya saat kau hamil dan di saat yang bersamaan ia harus hancur karena kenyataan itu yang justru mengantarkan kau pergi. Perempuan yang kugambarkan kepadanya persis seperti perempuan yang ia gambarkan kepadaku. Rahma yang penuh kasih sayang dan pengertian. Rahma yang tak pandai marah. Rahma yang kerap bercerita tentang teman-teman karibnya. Rahma yang mungkin menanggungkan rindu yang teramat berat tetapi memilih sabar sebagai teman dalam menjalani hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

"Maafkan saya belum mampu memakai jilbab, Mei-Mei... Saya tak mau sekedar ikut-ikutan, tidak sebelum hatiku benar-benar mampu mempertanggungjawabkan setiap perkataan dan perbuatanku. Kau mengerti, Mei-Mei?"

Siang itu, kabarmu melintas dari negeri nun jauh. Aku tak mampu merapal doa sebab sesuatu seperti mengunci seluruh tubuhku sebab ini sebuah kenyataan yang tak pernah terlintas dalam benakku akan terjadi. Pembuluh darahmu pecah dipicu oleh kehamilanmu yang masih berusia dini, kau pun kehilangan kesadaran. Tak ada yang tahu apa yang kau pikirkan saat kau terbaring ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiranmu. Kau yang hanya ditunggui suamimu, ibu dan adik laki-lakimu yang segera terbang begitu mendengar kabar sakitmu. Dari yang kudengar, kau tak bangun lagi menyapa ibumu hingga sore itu kau dijemput pergi. Dari matamu yang tertutup, sempat mengalir beberapa tetes butiran air sesaat setelah ibumu datang di sisimu. Mungkin kau hendak berpamitan pada perempuan sederhana yang kau warisi kebaikan hatinya itu.

Kematian itu selalu jadi misteri besar bagi kita, kini kau yang pertama di antara kami berenam yang berhasil menguaknya. Adakah sesulit yang diceritakan orang-orang tentang perjalanan ke sana? Ataukah justru seperti yang kami harapkan, Allah membentangkan jalan yang indah bagi seorang perempuan sebaik dirimu?

Rahma... Sampai bertemu nanti. Bagiku, kau tak kemana-mana. Kau akan selalu bisa kutemukan dalam gerombolan anak perempuan berseragam putih abu-abu. Dalam secangkir kopi hitam yang menguarkan kenangan tentang dirimu di pertemuan terakhir kita dua tahun yang lalu di sebuah kedai kopi di kampung halaman kita. Dalam beberapa lembar foto tua yang kujaga baik-baik, kutengok sesekali saat rindu begitu menjajah. Bahkan di antara awan putih yang berarak perlahan di langit sana.

Kau sungguh tak pernah pergi, Rahma...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar