Selasa, 02 Desember 2014

Mesin waktu

Pernahkah kau pada suatu masa begitu sulit memahami seseorang? Lalu kau menyerah, tetapi orang tersebut tak juga pergi meninggalkanmu, seberapa besarnya pun keinginanmu mencoba membuatnya pergi. Lalu, kau seberangi lautan, kau lintasi samudera, kau bergerak dari naungan langit yang satu ke naungan langit yang berikutnya, ia masih juga di sana tampak di pelupuk matamu?

Aku tak tak tahu apakah bangunan kecil itu layak disebut rumah. Mari kutuntun kau sedikit. Sebuah pagar berkarat yang berdecit-decit saat dibuka, sebagai permulaannya. Perempuan itu menyambutku dengan sedikit berbungkuk, tak membiarkanku menilai riak di matanya sebab kedua mata itu seperti hanya memperlihatkan dua buah garis pendek yang membosankan. Perawakannya kecil, sedikit kurus, seperti itulah mungkin kelak aku menjelma jika usiaku mencapai usianya. Aku bertahan di depan pagar berkarat yang telah terbuka lebar selama beberapa jenak. Menunggu-nunggu kemungkinan terbaik menghantamku, bertaruh dengan diriku sendiri yang sejak lama penasaran. Lalu, seperti ia langsung mengguyurkan seember air kekecewaan, demi membuatku kembali pada keadaan sadar. "Mari masuk..." begitu tukasnya. Biasa saja, tanpa nada yang penting yang menghanyutkan emosi seperti yang terjadi saat kau melantunkan sebuah lirik lagu sedih.

Jadi... Begini saja? Bertahun-tahun menimbun rindu yang tingginya nyaris mencapai langit, begini saja akhirnya? Beratus-ratus malam diam dalam gelap tersenyum-senyum menggambarkan serupa apa wajahnya dan sedikit mencemburui anak-anak yang beruntung berada dalam pelukannya, begini saja akhirnya? Sebuah pelukan yang hangat, beberapa tetes air mata haru, tentulah sudah cukup menghapus ketidakpastian yang hidup dalam diriku selama bertahun-tahun. Atau sebuah kata sederhana semacam 'maaf', yakinlah bahwa aku akan mengalahkan waktu dan kau akan kumaafkan detik itu juga. Tapi, begini saja akhirnya...?

Kutegar-tegarkan diri. Jika air mata adalah sebuah hal yang sangat mahal untuk ia buang percuma, maka akupun takkan membuang air mataku di sini. Berat hati kuajak kakiku mengayun, menghampiri sebuah kursi plastik yang disodorkannya kepadaku. Sebuah patung lelaki gundul berperut buncit yang tengah duduk, seakan menertawakanku. Wangi hio menebarkan aroma yang mengingatkanku pada masa kecilku sendiri. Patung seorang dewi cantik tak jauh dari lelaki gundul yang terus tertawa tadi, seperti hendak membisikkan sebait kalimat kebijaksanaan. Aku gagal mempercayainya. Ruangan ini seakan hendak membekapku hingga sesak nafasku. Kotak-kotak dus bertumpuk, barang-barang bekas berserakan, segala macam benda yang mungkin usianya lebih tua dari usiamu sendiri, ada di sini. Aku menebak-nebak layaknya seorang ahli penyakit jiwa, orang-orang yang hidup di dalam rumah ini sudah pastilah orang-orang yang terjebak dalam masa lalu.

Lalu, seperti layaknya pada tamu-tamu lainnya yang ia kenal, perempuan itu menuntun aku menyusuri sebuah koridor pendek yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang. Sebuah bambu panjang tergantung di atas kepala, tempat beberapa lembar pakaian kering disampirkan. Ada dua ruangan tidur berukuran kecil yang kulewati sepanjang koridor itu. Dua ruangan yang dipergunakan oleh perempuan itu dan lelakinya untuk beristirahat. Tidak untuk tidur bersisian, tidak ada kemungkinan tidur berpelukan, bahkan untuk saling menatap sekalipun. Kedua ruangan itu dibatasi sekat sebuah triplek tipis yang telah dipaku mati. Mereka tidur sendiri-sendiri dalam arti yang sebenarnya.

Sebuah kotak ajaib kecil tempat ia mencuri lihat kehidupan di luar dunianya, menyambut kami. Pun, di ruangan sempit yang langsung bersambung dengan dapur dan kamar mandi ini, kotak-kotak kardus dan barang masih menjadi penguasa. Di sebuah meja kecil yang menempel di tembok, diapit sebuah lemari pakaian berbau apak dan sebuah lemari pendingin yang usianya nyaris sama dengan usiaku, di situ biasa aku berhenti. Meja itu bahkan tak cukup untuk dua orang dewasa. Perempuan itu setidaknya tuan rumah yang baik, dijamunya aku apa saja yang sedang dimasaknya. Yang paling aku gemari adalah masakan khas sup ayam kampung muda berkuah hitam. Yang rasanya pahit menguarkan aroma akar-akar obat yang khas. Di tahun-tahun berikutnya aku sadar, seperti itulah aku mengenang perempuan itu. Pahit.

Dulu, sepulang kuliah, aku sering duduk berlama-lama mendengarnya bercerita. Semua informasi yang diperolehnya dari kotak ajaib itu diceritakannya kembali kepadaku lengkap dengan analisanya. Entahkah ia yang berhasil 'menguasai' kotak ajaib itu ataukah sebaliknya. Perempuan itu bahkan mahir mendramatisir sebuah aib seapik yang dilakukan oleh seorang Feni Rose. Ia adalah contoh yang sempurna betapa mumpuninya sebuah media dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Aku tak membantahnya, dengan kata lain aku kesulitan menyela. Kuiyakan saja dengan sesekali bergumam... Oohh... Masa? .... Astaga! Pun ketika ia mulai mencela ini dan itu, kutelan bulat-bulat saja celaannya yang pedas nian rasanya. Hampir segala hal salah atau harus dikoreksi menurutnya. Ia terlalu sempurna untuk dunia yang sangat mengecewakan ini.

Di setiap kesempatan, pasti selalu ada waktu untuk mencela sebuah nama. Lelaki itu, lelaki yang tidur di sebelah kamarnya, lelaki yang biasa kutemukan sedang duduk berjongkok tepat di depan pintu atau sedang duduk di sebelah mejanya yang bertaburan barang-barang mistis sembari mengipas-ngipas. Sesekali aku berharap, perempuan itu mau saja menurunkan nada suaranya sedikit, supaya perbincangan ini tak berujung penyesalan di kemudian hari. Tapi rasa-rasanya ini semacam balas dendam yang tak selesai-selesai, meski segala jenis teknologi muktahir telah diciptakan demi kita bisa melangkah maju ke masa depan. Benci harus kukatakan, tebakanku di awal benar. Rumah ini membuat penghuninya terjebak dalam masa lalu.

Andai saja kita punya mesin waktu, ya? tukasnya suatu ketika padaku. Untuk apa? Serta-merta aku bertanya. Aku ingin kembali memutar ulang waktu, di mana aku bertemu lelaki itu. Aku tentu takkan menikah dengannya dan berakhir seperti ini. Aku diam, kali ini aku benar kelu. Jika saja mesin waktu itu benar-benar ada, maka kemungkinan terburuknya aku pun takkan mungkin ada hari ini. Tidakkah kehadiranku harusnya bisa membuatnya melupakan ide tentang mesin waktu itu? Aku yang tertemukan setelah belasan tahun 'dihilangkan dengan sengaja', tidakkah itu adalah sebuah pencapaian yang jauh lebih dahsyat ketimbang mesin waktu itu sendiri? Pahit benar.

Akupun sebenarnya tak mahir memaafkan, tetapi melihat dirinya, aku mau tak mau harus percaya, pintu hati tak bisa dibuka oleh siapapun kecuali pemiliknya sendiri. Terkadang, sembari duduk di atas kursi plastik, sementara kata-kata berhamburan dari mulutnya dan saling bersilangan di udara di sekitarku, aku menghapus satu persatu gambar yang pernah kubuat tentang kehidupan mereka. Gambar-gambar itu terlalu ideal, bisik batinku merasa berdosa. Aku mencoba membuat gambar yang lain. Seorang anak kecil berusia sebaya diriku sedang tidur menggulung tubuhnya menjadi serupa bola, sementara sebelah tangannya menekan erat bantal yang menutupi telinganya. Seorang anak balita yang tadinya tidur memunggunginya, terbangun sebentar karena teriakan-teriakan itu. Tapi ia pun tak sanggup menyentuh punggung kakaknya, lalu ia pun menyalahkan dirinya karena tidur pada sisi yang salah. Di atas mereka, di tingkat atas tempat tidur bersusun itu, dua anak perempuan yang lebih tua usianya saling menautkan jemari, berbisik pelan-pelan dalam hati, memanggil Tuhan. Seorang anak lelaki lainnya, terperangkap di sebuah kamar di atas loteng yang sempit, memilih tetap di sana sebab ia tahu, walau anak laki-laki bernilai 'emas' dalam tradisi keluarganya, ia tetap tak diperhitungkan.

Mungkin saat itu tak ada piring yang berterbangan atau perabot kaca yang pecah berkeping-keping seperti yang terjadi di film-film drama. Mungkin yang ada hanya teriakan-teriakan saling menyalahkan, sederet daftar dosa yang dihamburkan dan tak layak untuk diampuni, sumpahan demi sumpahan tentang kekurangan masing-masing diri. Hingga mereka lelah, hingga mereka tidur sejenak mengembalikan kekuatan. Hingga esok malam mereka punya tenaga baru untuk saling mencaci. Hingga curiga adalah makanan sehari-hari. Terus-menerus, terus-menerus. Terus-menerus....

Kisah-kisah itu tentu tak kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku percaya hal itu benar terjadi. Seperti aku percaya, tidak semua manusia yang harus menelan penderitaan pahit dan dipaksa mengunyahnya pelan-pelan sampai lumat, berakhir menjadi kepingan-kepingan kegagalan. Perempuan-perempuan kecil yang menghabiskan malam-malam mereka dengan takluk dalam diam dan rasa takut itu, kini menjelma menjadi perempuan-perempuan yang mencengangkan. Setidaknya malam-malam menakutkan itu telah membuat mereka mampu memelihara sebuah tekad untuk kelak keluar dari dunia yang sempit yang diciptakan perempuan dan lelaki itu untuk mereka. Perempuan-perempuan kecil yang dipaksa berkompromi dengan segala macam kesulitan hidup, tekanan psikis selama berbelas tahun, tapi mampu meluaskan hatinya untuk setia mengamini ungkapan 'tidak ada yang namanya bekas orang tua'.

Betapa waktu mampu membuat kita kadang-kadang kelu. Gadis kecil yang dulunya terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya di saat usianya masih belasan tahun, yang harus mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang sarjana, kini mampu berdiri tegak mengambil alih semua kewajiban yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Ia yang kini yang begitu girang bisa memugar rumah tua berkenangan pahit itu menjadi sebuah rumah yang cantik dan semoga bisa menghangatkan seperti harapannya. Gadis kecil lainnya tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang sangat welas asih. Di luar membesarkan dua anak lelakinya yang menjelang remaja, ia aktif menyumbangkan tenaga, pikiran dan hartanya dalam sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Gadis kecil yang menutup telinganya dengan bantal pun telah berhasil mencapai pencapaian hidup yang bukan biasa-biasa. Ia terlalu ulet untuk diruntuhkan, ia bergerak sepanjang waktu membantu para pekerja yang butuh motivasi, padahal jika ia ingin, ia sebenarnya boleh berkeliling dunia dengan penghasilannya dari belasan apartemen miliknya yang ia sewakan. Dan si gadis bungsu yang dulunya kukira bisu sebab tak pernah terdengar mampu menyuarakan kehendaknya oleh karena hidup yang mengajarkannya untuk diam, kini telah melakukan sederet lompatan-lompatan besar dalam hidupnya. Setelah lulus di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik di Bandung dengan nilai sangat memuaskan, ia menyelesaikan dua buah program beasiswa di luar negeri. Kini, ia adalah seorang perempuan dewasa yang bekerja di bidang teknik informatika.

Sesekali, aku duduk bergabung dengan mereka, berbincang lepas tentang badai besar yang telah mereda di kehidupan mereka, yang kulewatkan sebab Tuhan maunya begitu. Tertawa-tawa, menangis, bersyukur, saling menguatkan, lalu mereka menudingku sebagai orang yang beruntung sebab pernah 'dihilangkan dengan sengaja'. Badai besar memang masih berkecamuk di atas kepala perempuan dan lelaki yang masih hidup satu atap tapi tak bertegur sapa itu. Mereka tak pernah bisa menemukan alasannya atau menyelesaikannya, rasanya tak ada yang sungguh-sungguh mampu. Entahkah ini sebuah contoh bahwa kebencian bisa hidup meraksasa dalam sebuah cinta, ataukah benar mereka sejak pertama tak pernah mencintai. Pun kalau benar seperti itu, mungkin perempuan-perempuan itu sudah tak punya air mata untuk meratapi kenyataan bahwa mereka memang lahir dari perempuan dan lelaki ini. Mudah-mudahan sampai mati mereka takkan menyerah memelihara 'maaf'. Mudah-mudahan sampai mati mereka tetap mencintai perempuan dan lelaki itu.

Ma, jika aku bisa memaafkan.... Jika mereka bisa memaafkan, mengapa Mama tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar